Tuesday, April 22, 2014

‡ Melukis Senja ‡

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Lomba Menulis FLASH FICTION ‘Perempuan & Senja’.



Link to the original article here


__________



Melukis Senja

“Aku tidak suka senja.”

Begitu katamu dulu saat pertama kali kita melihat matahari terbenam bersama.

Aku memilih diam tapi kau mengerti arti keheninganku. Kau selalu mengerti apa yang tidak pernah sanggup kusampaikan lewat kata-kata.

“Aku tidak mengerti apa yang orang sukai dari pemandangan matahari terbenam. Aku tidak mengerti apa keindahan cahaya yang menghilang perlahan. Bukankah menurutmu fajar lebih indah dibanding senja?”

Fajar.

Kau lebih menyukai fajar, momen pada saat matahari terbit di ufuk timur. Bagimu fajar seperti cara dunia ini mengingatkan kita bahwa ada hari yang baru lagi untuk dijalani, bahwa kita masih memiliki harapan seperti matahari yang selalu bersinar menyambut kita setiap pagi.

Bagiku, kau adalah fajar.

Awalnya kupikir kau adalah angin.

Hanya butuh beberapa detik bagiku untuk berharap bisa bertemu denganmu kembali setelah pertemuan pertama kita, seperti halnya anak kecil yang ingin merasakan hembusan angin sepoi di sore hari. Senyum lembutmu seolah berkata, “Sampai jumpa lagi.”

Di duniaku yang selalu dipenuhi oleh suara keramaian, entah sejak kapan, hanya suaramu yang mencapaiku. Mungkin kau bukan lagi sekedar angin sejak kau menyapaku dan menanyakan namaku. Mungkin kau sudah menjadi secercah cahaya saat kau memuji lukisan bunga mawarku. Mungkin kau telah menjadi matahari bagiku tanpa kita berdua sadari.

Aku tidak pernah memintamu untuk duduk di sampingku saat aku melukis tapi di sisiku lah kau berada. Aku tidak pernah menuntutmu untuk menceritakan apa saja yang kau lalui setiap minggu karena aku tidak bisa menceritakan hari-hariku namun, tanpa mengenal bosan, kau selalu berhasil membuatku tertawa kecil.

Tahukah kau bahwa senyummu setiap kali aku tertawa membuatku merasa dunia terasa lebih hangat?

Kesendirian yang selalu menjadi sahabatku selama ini digantikan olehmu. Perlahan tapi pasti, seperti halnya matahari yang selalu kembali bersinar di pagi hari, aku mengharapkanmu layaknya manusia yang tak sabar menanti hari baru.

Tidak pernah aku bertemu dengan orang sepertimu, yang bisa mengerti apa yang tidak kukatakan, yang tidak menganggapku membosankan karena keheningan yang kuberikan. Kau bahkan memahami bagian hatiku yang tidak ingin kuakui. Seperti layaknya sebuah buku, kau membacaku dengan mudah.

Hanya saja buku itu tidak kau baca hingga selesai.

Lukisan senja? Untukku?”

Matamu membelalak terkejut saat melihat semburat warna jingga pilihanku di atas kanvas yang masih berwarna putih sebulan lalu. Jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya padahal kali ini keheningan, sahabat lamaku, kembali lagi bersamaku.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Kau semakin mendekati lukisanku dan akhirnya memilih menyentuhnya dengan jemarimu.

Mengapa kau tidak memujiku seperti biasanya? Mengapa kau biarkan keheningan yang selalu kau lenyapkan dengan mudah mengisi waktu kita? Apakah karena lukisanku terlalu sederhana dibanding lukisan lain yang pernah kau lihat?

Apakah karena aku melukis senja yang tidak kau suka?

“Indah.”

Tanpa melihatku, kau ucapkan satu kata itu dengan pelan.

Rasanya ada yang mengambil udara dariku. Nafasku tertahan saat akhirnya mata kita bertemu. Bibirmu membentuk sebuah senyum bahagia sebelum kau ucapkan terima kasih atas hadiah ulang tahunmu yang begitu istimewa dariku.

“Sulitkah melukis senja?”

Pertanyaanmu hanya membuatku tersenyum lirih.

Sulit.

Senja yang sempurna hanya bertahan beberapa detik setiap harinya. Oleh karena itu, setiap harinya, aku akan duduk di teras rumahku yang menghadap pantai, menanti matahari perlahan menghilang dari pandangan. Setiap harinya, aku mengabadikan beberapa detik senja itu dalam ingatanku, untuk mengubahnya menjadi nyata di atas kanvasku.

Semua itu sebanding dengan senyuman yang kau berikan padaku.

Sayangnya senyuman itu bukanlah senyuman yang mengetahui adanya perasaan cinta yang tertuang di setiap sapuan kuas hingga lukisan itu menjadi sempurna.

Bukan sempurna karena senja yang bisa diabadikan dalam lukisan. Bukan sempurna karena hasil lukisanku yang masih jauh dari karya seorang maestro.

Sekedar sempurna karena ketulusan hatiku untuk menyampaikan betapa aku mencintaimu.

Namun kau tidak tahu.

“Kau memang sahabat terbaikku. Terima kasih.”

Sahabat.

Hanya itulah aku bagimu.

“Adikmu juga pasti akan sangat menyukai lukisan senja ini. Akan kuperlihatkan padanya segera.”

Adikku. Kekasihmu. Orang yang begitu kusayangi seperti aku menyayangimu. Sosok yang membuatku memilih menjadi senja yang hanya sementara karena, aku tahu, dialah fajar bagimu.

“Aku jadi menyukai senja karenamu.”

Lalu kau berlalu untuk menemuinya dan, seperti hari-hari sebelumnya, aku berdiri sendirian, menunggu senja yang terasa lebih sedih dan sepi dari biasanya.

Rasanya aku tidak ingin melihat senja lagi.

Kemudian, seolah langit mengerti, hujan pun turun.

Tetes hujan pun menyembunyikan air mataku.

Beritahu aku. Salahkah bila aku tidak menyukai senja lagi?

Karena senja mengingatkanku padamu.


  END  

1 issues:

Anonymous said...

Baguss err.. pemilihan kata-katanya okee ♡