Monday, December 14, 2015

‡ It’s Alright ‡


“Eva?”
Suara lembut yang familiar membangunkan Eva dari tidurnya. Dengan enggan dia membuka matanya perlahan, bergumam pelan, “Hmm? Kenapa, Ma?”
“Sudah jam empat. Taksimu tiba setengah jam lagi. Ayo cepat berberes,” ibu Eva menarik selimut biru favorit Eva, cara paling mudah untuk membuat anak perempuan satu-satunya itu untuk meninggalkan tempat tidur. “Nanti kau ketinggalan pesawat. Mau sarapan apa?”
Eva memaksa dirinya untuk mengumpulkan kesadaran penuh sebelum memberitahu ibunya bahwa dia akan menikmati sarapan di bandara bersama dengan rekan kerjanya. Ibunya hanya tersenyum sebelum meninggalkan kamar Eva, tanda bahwa dia sudah menduga anaknya akan menjawab demikian.
“1 Desember...,” Eva memandang kalender kecil yang ia letakkan di meja. Ada beberapa coretan kecil dan rapi di beberapa angka, menandakan momen yang perlu diingat oleh Eva. Di tanggal hari ini, ada tulisan ‘Flight #12’ di sisi kiri angka 1.
Selama satu tahun terakhir ini, Eva ditugaskan oleh kantornya untuk dinas di luar kota untuk sebuah proyek yang cukup besar. Sebagai anak perempuan tunggal di keluarga, ayahnya cukup khawatir dengan aktivitas Eva yang sibuk. Ia hanya pulang ke rumah untuk tiga hari dalam sebulan, lebih banyak menghabiskan hari-harinya dengan rekan kerjanya dibanding keluarga.
Ibunya lah yang berhasil meyakinkan sang kepala keluarga untuk membiarkan Eva menikmati pekerjaannya.
“Eva sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula bukankah ini berarti dia dipercaya oleh atasannya sampai dia dikirim ke luar kota?”
Pagi ini, seperti bulan-bulan sebelumnya, ibu Eva mengantar anaknya ke taksi yang sudah menunggu, siap mengantarkan Eva ke bandara. Langit masih gelap dan udara dingin berhembus tapi keduanya tidak mengeluh, seolah ini adalah hal yang sudah biasa.
“Pergi dulu ya,” Eva tersenyum, membuka pintu taksi. “Nanti kukabari jika sudah sampai.”
“Minum air yang banyak ya. Kalau ada apa-apa, telepon saja,” ibunya melambaikan tangan, memandang Eva yang masuk ke dalam taksi. “Hati-hati ya.”
Tidak ada cium peluk hangat seperti yang dilakukan anak dan ibu pada umumnya. Tidak ada ucapan ‘I love you’ yang dibisikkan. Yang ada hanyalah percakapan singkat selama kurang dari satu menit yang selalu dilakukan saat Eva akan berangkat ke bandara, meninggalkan rumah kembali selama sebulan.


☆ ☆ 


“Ma, aku sudah sampai.”
Eva mengetuk tombol ‘kirim’ di layar telepon genggamnya. Ia menyimpannya kembali di saku jaket sebelum mengikuti rekan kerjanya ke arah pintu keluar bandara. Eva menghentikan langkahnya untuk sedetik saat notifikasi pesan baru masuk.
“Ok,” hanya itu balasan pesan dari ibunya.
Eva tersenyum saat ingat rekan kerjanya yang pernah kebingungan dengan bentuk komunikasi Eva dengan orang tuanya. Sebagai anak perempuan, seperti ada aturan yang tidak tertulis, Eva sangat dekat dengan ibunya dibandingkan tiga saudara laki-lakinya.
Memilih baju baru, berbelanja kebutuhan rumah, menonton drama di televisi, mencoba resep kue baru. Semuanya adalah aktivitas yang dijalani Eva dan ibunya bersama; hal yang tidak dilakukan oleh para pria di rumah mereka.
Bagi Eva, tidak akan ada yang berubah di antara mereka meskipun ia sibuk bekerja. Setiap kali dia pulang, dia akan meluangkan satu hari untuk menemani ibunya pergi ke pusat perbelanjaan, mencoba makanan baru, ataupun menonton film di bioskop. Eva juga tidak pernah lupa untuk membawakan oleh-oleh untuk keluarganya.
Meskipun di bulan Juni kakak laki-lakinya pergi ke luar negeri untuk bekerja, tidak ada yang berubah di rumah. Ibunya berkata, “Tidak apa-apa. Baguslah kakakmu mendapatkan kesempatan untuk mencari peruntungan di luar negeri.”
Meskipun di bulan Agustus lalu, ayahnya juga bertugas ke luar negeri selama satu tahun, ibunya tertawa kecil, “Tidak apa-apa. Gaji di sana sangat baik. Lumayan untuk membantu biaya kuliah adik kamu yang tahun depan lulus SMA kan?”
Meskipun ketika tiga bulan lalu, ketika Eva menerima kabar buruk bahwa kakeknya meninggal dikarenakan lanjut usia, ibunya justru yang menenangkan Eva meskipun jelas sekali ibunya baru saja menangis, “Tidak apa-apa. Penerbanganmu besok kan? Di sini Mama sudah urus semuanya. Kamu baik-baik saja di sana. Besok baru kamu bantu. Tidak apa-apa ya, Eva.”
“Tidak apa-apa…,” Eva bergumam, memandang keluar jendela mobil yang bergerak. Dalam perjalanannya ke kantor klien, hujan deras mendadak turun, mengguyur kota yang sudah begitu familiar bagi Eva.
“Mana mungkin semuanya selalu tidak apa-apa?”


☆ ☆  

 
Jam menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima puluh delapan menit. Rekan kerjanya sudah tertidur lelap tetapi Eva justru masih duduk di ruang tamu apartemen mereka, menunggu panggilan telepon yang sudah ia prediksi.
Lima menit kemudian, telepon genggamnya berbunyi. Eva langsung tersenyum lebar saat melihat tulisan ‘Mama’ di layar. Ia menerima panggilan tersebut dengan sangat riang, “Halo?”
Eva bisa mendengar tawa adiknya dari telepon, puas karena rencana mereka berjalan dengan sempurna. Ibunya juga tertawa, “Aduh, kalian ini mengagetkan Mama saja. Mama pikir adikmu kenapa harus membangunkan Mama tengah malam begini. Terima kasih ya, terima kasih. Terima kasih. Mama suka martabak ulang tahunnya. Mama suka baju batik yang kalian pilih.”
Senyum Eva tidak hilang tetapi setetes air mata sudah membasahi pipinya.
Ulang tahun ibunya adalah 2 Desember dan Eva tidak bisa memundurkan jadwal penerbangannya. Dia ingin membuat ibunya senang tapi dirinya juga tidak bisa berada di sana pada saat yang bersamaan. Ulang tahun tanpa suaminya dan dua anaknya di rumah, sudah tentu akan berbeda dan lebih sepi.
“Selamat ulang tahun ya, Ma. Maaf aku tidak bisa di sana hari ini,” ujar Eva kalem, menghapus air matanya sendiri.
“Tidak apa-apa,” Eva bisa membayangkan ibunya tersenyum saat mengatakan hal ini. “Justru kalian tidak perlu repot-repot begini. Kau pasti lelah kan hari ini tapi masih belum tidur juga hanya untuk menunggu telepon Mama.”
Eva punya ribuan kata yang ingin disampaikan untuk ibunya.
Maaf karena dia belum menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya seperti anak-anak lain. Maaf karena begitu banyak hal yang masih belum bisa ia lakukan untuk keluarga. Maaf karena dia tidak bisa menemani ibunya di hari yang istimewa ini.
Terima kasih karena telah membesarkannya. Terima kasih karena selalu menyayanginya. Terima kasih karena selalu membuatnya bersyukur telah dilahirkan ke dunia ini.
Aku sayang Mama.
Eva punya ribuan kata yang ingin diucapkan tetapi ia yakin ibunya memahami dirinya lebih dari siapapun di dunia ini.
Oleh karena itu Eva hanya mengucapapkan dua kata singkat yang berarti begitu dalam.
“Tidak apa-apa.”


END

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co

0 issues: