Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
“Awesome Journey”
Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Link to nulisbuku's article here
__________
“Taman Nasional Lorentz.”
Aku menyebutkan nama tempat tujuan kami hari ini sambil menunjukkan lembaran foto yang kucetak beberapa bulan lalu dari sebuah situs internet, hari di mana aku memutuskan bahwa tempat di bagian Timur Indonesia ini akan menjadi destinasi akhir tahun kami berdua.
“Luasnya sekitar 2,4 juta Hektar! Tahun 1999, UNESCO mengakui taman nasional ini sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Di sini ada puncak gunung yang diselimuti salju hingga perairan pesisir pantai dengan hutan bakau.”
Aku menoleh ke ibuku dan tersenyum sangat lebar. Informasi yang sudah kupelajari berbulan-bulan lalu lamanya berhasil aku sampaikan dengan baik. Ibuku memberiku tatapan heran dilengkapi dengan tawa khas yang sudah sering aku dengar sejak kecil.
“Sayang, Mama tidak mengerti apa yang kamu jelaskan. UNESCO? Pesisir pantai? Mama hanya paham kalau tempat ini sangat luas,” jari telunjuknya berhenti di foto Pegunungan Salju Irian Jaya yang kupegang. “Dan di sini ada gunung salju padahal Indonesia adalah negara yang tidak ada musim salju. Betul kan?”
Mendengarkan kata-katanya, aku langsung nyengir lebar. Beliau mungkin tidak memiliki minat sebesar aku untuk mengunjungi taman nasional terbesar di Asia Tenggara ini, tetapi ibuku jelas mengharapkan perjalanan yang menyenangkan untuk kami nikmati di hari Ibu ini.
Tepat tujuh bulan yang lalu, dua minggu sebelum hari ulang tahun ke-50 ibuku, aku masih kebingungan mencari hadiah ulang tahun untuknya. Saat sedang melakukan riset kilat di beberapa situs internet, aku mendapat informasi bahwa tanggal 22 Mei adalah Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia.
Untuk sesaat aku terdiam di depan komputer, memikirkan definisi dari keanekaragaman hayati yang sudah sering aku dengar pada saat duduk di bangku sekolah dulu. Seolah ada panduan tidak terlihat, aku menutup seluruh situs restoran dan tempat liburan di Jakarta yang telah aku buka. Jari-jariku pun langsung mengetik kata kunci baru untuk ditelaah.
‘Keanekaragaman hayati’.
Hari itu aku diingatkan dan disadarkan kembali bahwa aku hidup di Indonesia, negara yang memiliki begitu banyak ragam makhluk hidup. Aku ingat saat aku pergi ke kebun binatang dengan keluargaku, mengagumi harimau, singa, unta, gajah, dan masih banyak lagi fauna unik lainnya.
Meskipun sudah lama, aku juga masih ingat saat aku diajarkan tentang jenis-jenis makhluk hidup yang tinggal di laut oleh ayahku. Saat itu aku masih yakin dengan adanya keberadaan putri duyung seperti dongeng yang pernah aku baca. Aku juga selalu girang saat melihat beberapa jenis tumbuhan unik seperti putri malu.
Aku tersenyum kecut, bertanya kepada diriku sendiri ke mana perginya rasa penasaranku yang begitu besar; perasaan ingin mengetahui dan mempelajari lebih banyak lagi tentang dunia. Mungkin aku membiarkan diriku tenggelam dalam kesibukan bekerja dan mengabaikan hal-hal lain yang sebenarnya juga penting.
Malam itu aku memutuskan bahwa hadiah untuk ulang tahun ibuku bukanlah hadiah seperti pakaian, tas, ataupun sepatu seperti yang selalu aku beli setiap tahun. Perjalanan ke tempat yang belum pernah kami berdua kunjungi pasti akan menjadi hadiah ulang tahun yang lebih berkesan untuknya meskipun terlambat kuberikan.
Aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara sehingga boleh dibilang aku adalah yang paling akrab dengan ibuku. Kakak laki-laki dan ayahku bekerja di luar kota sementara kedua adikku masih menempuh pendidikan; yang pertama masih di bangku universitas dan yang bungsu masih SMA.
Aku mencari tahu satu demi satu taman nasional yang ada di Indonesia, mulai dari yang ada di Sumatra hingga di Sulawesi. Perhatianku sepenuhnya tersita oleh Taman Nasional Lorentz yang justru letaknya paling jauh untuk dikunjungi. Tiket penerbangan ke sana pun tidak bisa dibilang murah. Akomodasi dan fasilitas yang ada pun belum terlalu lengkap.
Setelah mencoba menggali informasi lebih lengkap, aku menemukan tur yang menawarkan perjalanan ke Taman Nasional Lorentz di bulan Desember. Perjalanan yang ditempuh memang akan cukup makan waktu dan tidak semudah jika orang mengunjungi taman nasional yang ada di kota-kota lain, tetapi tekadku untuk mengunjungi taman tersebut tidak goyah.
Ibuku tidak menyembunyikan keraguannya saat aku memberitahu rencanaku. Bukannya dia tidak setuju, tetapi dia tidak mengerti mengapa pulau destinasi yang dituju begitu jauh.
“Mama sudah tidak muda lagi. Yang ada nanti kamu susah mau jalan-jalan tapi harus menunggu Mama. Lagipula kenapa harus sampai ke sana sih? Kan bisa ke Semarang, Medan, atau Makasar saja. Kamu yakin?
Beliau pun akhirnya membiarkan aku mengatur semua persiapan kami berdua untuk pergi. Kedua adikku tidak berkesempatan untuk pergi tetapi mereka akan menyiapkan hadiah lain untuk ibu kami saat kami pulang; mereka ingin merayakan Hari Ibu bersama.
“Ma, capek ya? Mau berhenti dulu?”
Aku menghentikan langkahku dan menyodorkan botol air minum ke ibuku. Dia menghela nafas panjang, “Agak capek sih.”
Kami sudah berada di Taman Nasional Lorentz dan para peserta tur takjub dengan keindahan alam yang begitu sempurna. Saking luasnya tempat ini, sudah pasti tidak mungkin kami bisa mengeksplorasi seluruhnya dalam satu hari.
Aku merasa agak sedikit bersalah saat melihat ibuku kelelahan. Para peserta tur tentunya tidak sabar melihat lebih banyak lagi keindahan yang ada di taman nasional ini sehingga mereka berjalan terus tanpa lelah. Ibuku yang hanya ibu rumah tangga biasa tentunya tidak biasa berjalan kaki sejauh ini.
“Semangat, Ma!” aku menggandeng tangannya. “Setelah ini kita akan ke Danau Habbema untuk mengamati keindahan burung. Di situ kita bisa beristirahat kok!”
Agar dia tetap bersemangat, aku menceritakan tentang Puncak Jaya Wijaya, salah satu puncak gunung yang ingin ditakhlukkan oleh para pendaki. Ibuku selalu mendengarkanku dengan seksama sambil sesekali mengingatkanku untuk mendengar penjelasan dari pemimpin tur yang juga menceritakan detil Taman Nasional Lorentz.
Kami diberitahu mengenai berbagai fauna unik yang hanya bisa ditemukan di Papua seperti Ular Sanca Bulan, Puyuh Salju, dan Kanguru Pohon. Bukan hanya fauna, tetapi ragam flora di kepulauan timur Indonesia pun tidak kalah banyaknya. Kami diberi kesempatan untuk melihat Sarang Semut dan berbagai tumbuhan lainnya.
Tanpa terasa, tur kami di Taman Nasional Lorentz berakhir saat jam menunjukkan pukul dua siang. Ibuku terlihat sangat lelah tetapi pertanyaan pertama yang dia ajukan kepadaku saat kami tiba di tempat menginap kami adalah apakah aku lapar atau tidak.
“Mama lapar?” aku mengeluarkan roti yang aku bawa di dalam tas ranselku. “Atau mau aku belikan makanan lagi?”
Dia menggeleng, “Mama lebih ingin tidur. Mama hanya bertanya karena siapa tahu kamu kelaparan karena terlalu seru berjalan-jalan tadi.”
Mataku mengikuti sosok wanita yang selalu mendampingiku selama dua puluh empat tahun ini. Tanpa berpikir, aku melontarkan pertanyaan singkat padanya, “Mama senang?”
Ibuku berhenti menyiapkan pakaian ganti dan menatapku lekat-lekat, “Senang jalan-jalan tadi? Mama capek sih.”
Beliau berjalan ke arahku dengan senyum di wajah, “Tapi Mama senang karena anak perempuan satu-satunya Mama juga senang.
“Dari dulu kamu selalu senang jalan-jalan, melihat hal baru. Mama selalu bingung harus bagaimana agar bisa mengajak kamu jalan-jalan seperti Papa yang bisa keliling Indonesia karena banyak yang harus Mama urus di rumah, padahal kamu tidak seperti anak lain yang lebih suka belanja ataupun pergi ke taman bermain. Mama hanya bisa membelikan kamu buku supaya kamu bisa melihat dan membayangkan tempat-tempat lain.
“Mama memang capek kalau harus sering jalan-jalan sejauh hari ini. Mama juga tidak mengerti banyak tentang apa yang dijelaskan oleh pemandu tur tadi. Meskipun kamu sudah mencoba menjelaskan ulang, Mama masih tetap tidak mengerti. Mama merasa tidak enak karena kamu sudah belajar begitu banyak tapi Mama tetap tidak bisa sepintar kamu.”
Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku saat ibuku membelai kepalaku lembut, “Anak Mama sudah besar sekarang. Bukan Mama lagi yang menggandeng kamu untuk berjalan lebih jauh. Mama senang sekali kok hari ini.”
Ibuku tertawa kecil tetapi aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, “Terima kasih ya, kamu sudah menunjukkan ke Mama bahwa Indonesia itu sangat indah. Dari dulu Mama hanya tahu kota kelahiran kita, Medan, dan ibukota Jakarta yang padat dan ramai dengan banyak hal. Ternyata masih banyak yang Mama belum tahu. Sekarang, meskipun baru tahu setelah 50 tahun, Mama akhirnya yakin bahwa Indonesia itu memang negara yang sangat indah.”
Ibuku menghapus air mataku yang sudah menetes kemudian mencubit kedua pipiku dengan gemas, “Nanti Mama jadi bisa cerita ke cucu, ke anak kamu. ‘Nenek pernah diajak jalan-jalan oleh Mama kamu. Kamu jangan lupa ya ajak jalan-jalan Mama kamu juga.’.”
Aku memeluk ibuku dan ikut tertawa di antara tangis haruku, “Iya, Ma, iya. Nanti kita jalan-jalan lagi bertiga. Tidak perlu sejauh ini juga tidak apa-apa”
“Masih banyak tempat di Indonesia untuk kita rayakan keistimewaannya.”
To The East
“Taman Nasional Lorentz.”
Aku menyebutkan nama tempat tujuan kami hari ini sambil menunjukkan lembaran foto yang kucetak beberapa bulan lalu dari sebuah situs internet, hari di mana aku memutuskan bahwa tempat di bagian Timur Indonesia ini akan menjadi destinasi akhir tahun kami berdua.
“Luasnya sekitar 2,4 juta Hektar! Tahun 1999, UNESCO mengakui taman nasional ini sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Di sini ada puncak gunung yang diselimuti salju hingga perairan pesisir pantai dengan hutan bakau.”
Aku menoleh ke ibuku dan tersenyum sangat lebar. Informasi yang sudah kupelajari berbulan-bulan lalu lamanya berhasil aku sampaikan dengan baik. Ibuku memberiku tatapan heran dilengkapi dengan tawa khas yang sudah sering aku dengar sejak kecil.
“Sayang, Mama tidak mengerti apa yang kamu jelaskan. UNESCO? Pesisir pantai? Mama hanya paham kalau tempat ini sangat luas,” jari telunjuknya berhenti di foto Pegunungan Salju Irian Jaya yang kupegang. “Dan di sini ada gunung salju padahal Indonesia adalah negara yang tidak ada musim salju. Betul kan?”
Mendengarkan kata-katanya, aku langsung nyengir lebar. Beliau mungkin tidak memiliki minat sebesar aku untuk mengunjungi taman nasional terbesar di Asia Tenggara ini, tetapi ibuku jelas mengharapkan perjalanan yang menyenangkan untuk kami nikmati di hari Ibu ini.
Tepat tujuh bulan yang lalu, dua minggu sebelum hari ulang tahun ke-50 ibuku, aku masih kebingungan mencari hadiah ulang tahun untuknya. Saat sedang melakukan riset kilat di beberapa situs internet, aku mendapat informasi bahwa tanggal 22 Mei adalah Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia.
Untuk sesaat aku terdiam di depan komputer, memikirkan definisi dari keanekaragaman hayati yang sudah sering aku dengar pada saat duduk di bangku sekolah dulu. Seolah ada panduan tidak terlihat, aku menutup seluruh situs restoran dan tempat liburan di Jakarta yang telah aku buka. Jari-jariku pun langsung mengetik kata kunci baru untuk ditelaah.
‘Keanekaragaman hayati’.
Hari itu aku diingatkan dan disadarkan kembali bahwa aku hidup di Indonesia, negara yang memiliki begitu banyak ragam makhluk hidup. Aku ingat saat aku pergi ke kebun binatang dengan keluargaku, mengagumi harimau, singa, unta, gajah, dan masih banyak lagi fauna unik lainnya.
Meskipun sudah lama, aku juga masih ingat saat aku diajarkan tentang jenis-jenis makhluk hidup yang tinggal di laut oleh ayahku. Saat itu aku masih yakin dengan adanya keberadaan putri duyung seperti dongeng yang pernah aku baca. Aku juga selalu girang saat melihat beberapa jenis tumbuhan unik seperti putri malu.
Aku tersenyum kecut, bertanya kepada diriku sendiri ke mana perginya rasa penasaranku yang begitu besar; perasaan ingin mengetahui dan mempelajari lebih banyak lagi tentang dunia. Mungkin aku membiarkan diriku tenggelam dalam kesibukan bekerja dan mengabaikan hal-hal lain yang sebenarnya juga penting.
Malam itu aku memutuskan bahwa hadiah untuk ulang tahun ibuku bukanlah hadiah seperti pakaian, tas, ataupun sepatu seperti yang selalu aku beli setiap tahun. Perjalanan ke tempat yang belum pernah kami berdua kunjungi pasti akan menjadi hadiah ulang tahun yang lebih berkesan untuknya meskipun terlambat kuberikan.
Aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara sehingga boleh dibilang aku adalah yang paling akrab dengan ibuku. Kakak laki-laki dan ayahku bekerja di luar kota sementara kedua adikku masih menempuh pendidikan; yang pertama masih di bangku universitas dan yang bungsu masih SMA.
Aku mencari tahu satu demi satu taman nasional yang ada di Indonesia, mulai dari yang ada di Sumatra hingga di Sulawesi. Perhatianku sepenuhnya tersita oleh Taman Nasional Lorentz yang justru letaknya paling jauh untuk dikunjungi. Tiket penerbangan ke sana pun tidak bisa dibilang murah. Akomodasi dan fasilitas yang ada pun belum terlalu lengkap.
Setelah mencoba menggali informasi lebih lengkap, aku menemukan tur yang menawarkan perjalanan ke Taman Nasional Lorentz di bulan Desember. Perjalanan yang ditempuh memang akan cukup makan waktu dan tidak semudah jika orang mengunjungi taman nasional yang ada di kota-kota lain, tetapi tekadku untuk mengunjungi taman tersebut tidak goyah.
Ibuku tidak menyembunyikan keraguannya saat aku memberitahu rencanaku. Bukannya dia tidak setuju, tetapi dia tidak mengerti mengapa pulau destinasi yang dituju begitu jauh.
“Mama sudah tidak muda lagi. Yang ada nanti kamu susah mau jalan-jalan tapi harus menunggu Mama. Lagipula kenapa harus sampai ke sana sih? Kan bisa ke Semarang, Medan, atau Makasar saja. Kamu yakin?
Beliau pun akhirnya membiarkan aku mengatur semua persiapan kami berdua untuk pergi. Kedua adikku tidak berkesempatan untuk pergi tetapi mereka akan menyiapkan hadiah lain untuk ibu kami saat kami pulang; mereka ingin merayakan Hari Ibu bersama.
“Ma, capek ya? Mau berhenti dulu?”
Aku menghentikan langkahku dan menyodorkan botol air minum ke ibuku. Dia menghela nafas panjang, “Agak capek sih.”
Kami sudah berada di Taman Nasional Lorentz dan para peserta tur takjub dengan keindahan alam yang begitu sempurna. Saking luasnya tempat ini, sudah pasti tidak mungkin kami bisa mengeksplorasi seluruhnya dalam satu hari.
Aku merasa agak sedikit bersalah saat melihat ibuku kelelahan. Para peserta tur tentunya tidak sabar melihat lebih banyak lagi keindahan yang ada di taman nasional ini sehingga mereka berjalan terus tanpa lelah. Ibuku yang hanya ibu rumah tangga biasa tentunya tidak biasa berjalan kaki sejauh ini.
“Semangat, Ma!” aku menggandeng tangannya. “Setelah ini kita akan ke Danau Habbema untuk mengamati keindahan burung. Di situ kita bisa beristirahat kok!”
Agar dia tetap bersemangat, aku menceritakan tentang Puncak Jaya Wijaya, salah satu puncak gunung yang ingin ditakhlukkan oleh para pendaki. Ibuku selalu mendengarkanku dengan seksama sambil sesekali mengingatkanku untuk mendengar penjelasan dari pemimpin tur yang juga menceritakan detil Taman Nasional Lorentz.
Kami diberitahu mengenai berbagai fauna unik yang hanya bisa ditemukan di Papua seperti Ular Sanca Bulan, Puyuh Salju, dan Kanguru Pohon. Bukan hanya fauna, tetapi ragam flora di kepulauan timur Indonesia pun tidak kalah banyaknya. Kami diberi kesempatan untuk melihat Sarang Semut dan berbagai tumbuhan lainnya.
Tanpa terasa, tur kami di Taman Nasional Lorentz berakhir saat jam menunjukkan pukul dua siang. Ibuku terlihat sangat lelah tetapi pertanyaan pertama yang dia ajukan kepadaku saat kami tiba di tempat menginap kami adalah apakah aku lapar atau tidak.
“Mama lapar?” aku mengeluarkan roti yang aku bawa di dalam tas ranselku. “Atau mau aku belikan makanan lagi?”
Dia menggeleng, “Mama lebih ingin tidur. Mama hanya bertanya karena siapa tahu kamu kelaparan karena terlalu seru berjalan-jalan tadi.”
Mataku mengikuti sosok wanita yang selalu mendampingiku selama dua puluh empat tahun ini. Tanpa berpikir, aku melontarkan pertanyaan singkat padanya, “Mama senang?”
Ibuku berhenti menyiapkan pakaian ganti dan menatapku lekat-lekat, “Senang jalan-jalan tadi? Mama capek sih.”
Beliau berjalan ke arahku dengan senyum di wajah, “Tapi Mama senang karena anak perempuan satu-satunya Mama juga senang.
“Dari dulu kamu selalu senang jalan-jalan, melihat hal baru. Mama selalu bingung harus bagaimana agar bisa mengajak kamu jalan-jalan seperti Papa yang bisa keliling Indonesia karena banyak yang harus Mama urus di rumah, padahal kamu tidak seperti anak lain yang lebih suka belanja ataupun pergi ke taman bermain. Mama hanya bisa membelikan kamu buku supaya kamu bisa melihat dan membayangkan tempat-tempat lain.
“Mama memang capek kalau harus sering jalan-jalan sejauh hari ini. Mama juga tidak mengerti banyak tentang apa yang dijelaskan oleh pemandu tur tadi. Meskipun kamu sudah mencoba menjelaskan ulang, Mama masih tetap tidak mengerti. Mama merasa tidak enak karena kamu sudah belajar begitu banyak tapi Mama tetap tidak bisa sepintar kamu.”
Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku saat ibuku membelai kepalaku lembut, “Anak Mama sudah besar sekarang. Bukan Mama lagi yang menggandeng kamu untuk berjalan lebih jauh. Mama senang sekali kok hari ini.”
Ibuku tertawa kecil tetapi aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, “Terima kasih ya, kamu sudah menunjukkan ke Mama bahwa Indonesia itu sangat indah. Dari dulu Mama hanya tahu kota kelahiran kita, Medan, dan ibukota Jakarta yang padat dan ramai dengan banyak hal. Ternyata masih banyak yang Mama belum tahu. Sekarang, meskipun baru tahu setelah 50 tahun, Mama akhirnya yakin bahwa Indonesia itu memang negara yang sangat indah.”
Ibuku menghapus air mataku yang sudah menetes kemudian mencubit kedua pipiku dengan gemas, “Nanti Mama jadi bisa cerita ke cucu, ke anak kamu. ‘Nenek pernah diajak jalan-jalan oleh Mama kamu. Kamu jangan lupa ya ajak jalan-jalan Mama kamu juga.’.”
Aku memeluk ibuku dan ikut tertawa di antara tangis haruku, “Iya, Ma, iya. Nanti kita jalan-jalan lagi bertiga. Tidak perlu sejauh ini juga tidak apa-apa”
“Masih banyak tempat di Indonesia untuk kita rayakan keistimewaannya.”
☆ END ☆