Saturday, June 27, 2015

‡ To The East ‡

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey”
Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com

 

Link to nulisbuku's article here

__________


To The East


“Taman Nasional Lorentz.”

Aku menyebutkan nama tempat tujuan kami hari ini sambil menunjukkan lembaran foto yang kucetak beberapa bulan lalu dari sebuah situs internet, hari di mana aku memutuskan bahwa tempat di bagian Timur Indonesia ini akan menjadi destinasi akhir tahun kami berdua.

“Luasnya sekitar 2,4 juta Hektar! Tahun 1999, UNESCO mengakui taman nasional ini sebagai salah satu Situs Warisan Dunia. Di sini ada puncak gunung yang diselimuti salju hingga perairan pesisir pantai dengan hutan bakau.”

Aku menoleh ke ibuku dan tersenyum sangat lebar. Informasi yang sudah kupelajari berbulan-bulan lalu lamanya berhasil aku sampaikan dengan baik. Ibuku memberiku tatapan heran dilengkapi dengan tawa khas yang sudah sering aku dengar sejak kecil.

“Sayang, Mama tidak mengerti apa yang kamu jelaskan. UNESCO? Pesisir pantai? Mama hanya paham kalau tempat ini sangat luas,” jari telunjuknya berhenti di foto Pegunungan Salju Irian Jaya yang kupegang. “Dan di sini ada gunung salju padahal Indonesia adalah negara yang tidak ada musim salju. Betul kan?”

Mendengarkan kata-katanya, aku langsung nyengir lebar. Beliau mungkin tidak memiliki minat sebesar aku untuk mengunjungi taman nasional terbesar di Asia Tenggara ini, tetapi ibuku jelas mengharapkan perjalanan yang menyenangkan untuk kami nikmati di hari Ibu ini.

Tepat tujuh bulan yang lalu, dua minggu sebelum hari ulang tahun ke-50 ibuku, aku masih kebingungan mencari hadiah ulang tahun untuknya. Saat sedang melakukan riset kilat di beberapa situs internet, aku mendapat informasi bahwa tanggal 22 Mei adalah Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia.

Untuk sesaat aku terdiam di depan komputer, memikirkan definisi dari keanekaragaman hayati yang sudah sering aku dengar pada saat duduk di bangku sekolah dulu. Seolah ada panduan tidak terlihat, aku menutup seluruh situs restoran dan tempat liburan di Jakarta yang telah aku buka. Jari-jariku pun langsung mengetik kata kunci baru untuk ditelaah.

‘Keanekaragaman hayati’.

Hari itu aku diingatkan dan disadarkan kembali bahwa aku hidup di Indonesia, negara yang memiliki begitu banyak ragam makhluk hidup. Aku ingat saat aku pergi ke kebun binatang dengan keluargaku, mengagumi harimau, singa, unta, gajah, dan masih banyak lagi fauna unik lainnya.

Meskipun sudah lama, aku juga masih ingat saat aku diajarkan tentang jenis-jenis makhluk hidup yang tinggal di laut oleh ayahku. Saat itu aku masih yakin dengan adanya keberadaan putri duyung seperti dongeng yang pernah aku baca. Aku juga selalu girang saat melihat beberapa jenis tumbuhan unik seperti putri malu.

Aku tersenyum kecut, bertanya kepada diriku sendiri ke mana perginya rasa penasaranku yang begitu besar; perasaan ingin mengetahui dan mempelajari lebih banyak lagi tentang dunia. Mungkin aku membiarkan diriku tenggelam dalam kesibukan bekerja dan mengabaikan hal-hal lain yang sebenarnya juga penting.

Malam itu aku memutuskan bahwa hadiah untuk ulang tahun ibuku bukanlah hadiah seperti pakaian, tas, ataupun sepatu seperti yang selalu aku beli setiap tahun. Perjalanan ke tempat yang belum pernah kami berdua kunjungi pasti akan menjadi hadiah ulang tahun yang lebih berkesan untuknya meskipun terlambat kuberikan.

Aku adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara sehingga boleh dibilang aku adalah yang paling akrab dengan ibuku. Kakak laki-laki dan ayahku bekerja di luar kota sementara kedua adikku masih menempuh pendidikan; yang pertama masih di bangku universitas dan yang bungsu masih SMA.

Aku mencari tahu satu demi satu taman nasional yang ada di Indonesia, mulai dari yang ada di Sumatra hingga di Sulawesi. Perhatianku sepenuhnya tersita oleh Taman Nasional Lorentz yang justru letaknya paling jauh untuk dikunjungi. Tiket penerbangan ke sana pun tidak bisa dibilang murah. Akomodasi dan fasilitas yang ada pun belum terlalu lengkap.

Setelah mencoba menggali informasi lebih lengkap, aku menemukan tur yang menawarkan perjalanan ke Taman Nasional Lorentz di bulan Desember. Perjalanan yang ditempuh memang akan cukup makan waktu dan tidak semudah jika orang mengunjungi taman nasional yang ada di kota-kota lain, tetapi tekadku untuk mengunjungi taman tersebut tidak goyah.

Ibuku tidak menyembunyikan keraguannya saat aku memberitahu rencanaku. Bukannya dia tidak setuju, tetapi dia tidak mengerti mengapa pulau destinasi yang dituju begitu jauh.

“Mama sudah tidak muda lagi. Yang ada nanti kamu susah mau jalan-jalan tapi harus menunggu Mama. Lagipula kenapa harus sampai ke sana sih? Kan bisa ke Semarang, Medan, atau Makasar saja. Kamu yakin?

Beliau pun akhirnya membiarkan aku mengatur semua persiapan kami berdua untuk pergi. Kedua adikku tidak berkesempatan untuk pergi tetapi mereka akan menyiapkan hadiah lain untuk ibu kami saat kami pulang; mereka ingin merayakan Hari Ibu bersama.

“Ma, capek ya? Mau berhenti dulu?”

Aku menghentikan langkahku dan menyodorkan botol air minum ke ibuku. Dia menghela nafas panjang, “Agak capek sih.”

Kami sudah berada di Taman Nasional Lorentz dan para peserta tur takjub dengan keindahan alam yang begitu sempurna. Saking luasnya tempat ini, sudah pasti tidak mungkin kami bisa mengeksplorasi seluruhnya dalam satu hari.

Aku merasa agak sedikit bersalah saat melihat ibuku kelelahan. Para peserta tur tentunya tidak sabar melihat lebih banyak lagi keindahan yang ada di taman nasional ini sehingga mereka berjalan terus tanpa lelah. Ibuku yang hanya ibu rumah tangga biasa tentunya tidak biasa berjalan kaki sejauh ini.

“Semangat, Ma!” aku menggandeng tangannya. “Setelah ini kita akan ke Danau Habbema untuk mengamati keindahan burung. Di situ kita bisa beristirahat kok!”

Agar dia tetap bersemangat, aku menceritakan tentang Puncak Jaya Wijaya, salah satu puncak gunung yang ingin ditakhlukkan oleh para pendaki. Ibuku selalu mendengarkanku dengan seksama sambil sesekali mengingatkanku untuk mendengar penjelasan dari pemimpin tur yang juga menceritakan detil Taman Nasional Lorentz.

Kami diberitahu mengenai berbagai fauna unik yang hanya bisa ditemukan di Papua seperti Ular Sanca Bulan, Puyuh Salju, dan Kanguru Pohon. Bukan hanya fauna, tetapi ragam flora di kepulauan timur Indonesia pun tidak kalah banyaknya. Kami diberi kesempatan untuk melihat Sarang Semut dan berbagai tumbuhan lainnya.

Tanpa terasa, tur kami di Taman Nasional Lorentz berakhir saat jam menunjukkan pukul dua siang. Ibuku terlihat sangat lelah tetapi pertanyaan pertama yang dia ajukan kepadaku saat kami tiba di tempat menginap kami adalah apakah aku lapar atau tidak.

“Mama lapar?” aku mengeluarkan roti yang aku bawa di dalam tas ranselku. “Atau mau aku belikan makanan lagi?”

Dia menggeleng, “Mama lebih ingin tidur. Mama hanya bertanya karena siapa tahu kamu kelaparan karena terlalu seru berjalan-jalan tadi.”

Mataku mengikuti sosok wanita yang selalu mendampingiku selama dua puluh empat tahun ini. Tanpa berpikir, aku melontarkan pertanyaan singkat padanya, “Mama senang?”

Ibuku berhenti menyiapkan pakaian ganti dan menatapku lekat-lekat, “Senang jalan-jalan tadi? Mama capek sih.”

Beliau berjalan ke arahku dengan senyum di wajah, “Tapi Mama senang karena anak perempuan satu-satunya Mama juga senang.

“Dari dulu kamu selalu senang jalan-jalan, melihat hal baru. Mama selalu bingung harus bagaimana agar bisa mengajak kamu jalan-jalan seperti Papa yang bisa keliling Indonesia karena banyak yang harus Mama urus di rumah, padahal kamu tidak seperti anak lain yang lebih suka belanja ataupun pergi ke taman bermain. Mama hanya bisa membelikan kamu buku supaya kamu bisa melihat dan membayangkan tempat-tempat lain.

“Mama memang capek kalau harus sering jalan-jalan sejauh hari ini. Mama juga tidak mengerti banyak tentang apa yang dijelaskan oleh pemandu tur tadi. Meskipun kamu sudah mencoba menjelaskan ulang, Mama masih tetap tidak mengerti. Mama merasa tidak enak karena kamu sudah belajar begitu banyak tapi Mama tetap tidak bisa sepintar kamu.”

Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku saat ibuku membelai kepalaku lembut, “Anak Mama sudah besar sekarang. Bukan Mama lagi yang menggandeng kamu untuk berjalan lebih jauh. Mama senang sekali kok hari ini.”

Ibuku tertawa kecil tetapi aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, “Terima kasih ya, kamu sudah menunjukkan ke Mama bahwa Indonesia itu sangat indah. Dari dulu Mama hanya tahu kota kelahiran kita, Medan, dan ibukota Jakarta yang padat dan ramai dengan banyak hal. Ternyata masih banyak yang Mama belum tahu. Sekarang, meskipun baru tahu setelah 50 tahun, Mama akhirnya yakin bahwa Indonesia itu memang negara yang sangat indah.”

Ibuku menghapus air mataku yang sudah menetes kemudian mencubit kedua pipiku dengan gemas, “Nanti Mama jadi bisa cerita ke cucu, ke anak kamu. ‘Nenek pernah diajak jalan-jalan oleh Mama kamu. Kamu jangan lupa ya ajak jalan-jalan Mama kamu juga.’.”

Aku memeluk ibuku dan ikut tertawa di antara tangis haruku, “Iya, Ma, iya. Nanti kita jalan-jalan lagi bertiga. Tidak perlu sejauh ini juga tidak apa-apa”

“Masih banyak tempat di Indonesia untuk kita rayakan keistimewaannya.”
  END  




Transcript:


All right.

Welcome and good afternoon, President Somerson, Chairman Spalter, honoured guests, parents, faculty, staff, and – mostly! – the 183 graduates and 486 undergraduates here today.


I should say right off that I am really qualified to be your commencement speaker. I was suspended from high school, then kicked out of college in the first marijuana scandal ever on a university campus. I’ve been arrested several times. I’ve been known to dress in ludicrous fashions. I’ve also built a career out of negative reviews, and have been called “the prince of puke” by the press. And most recently a title I’m really proud of: “the people’s pervert.” I am honored to be here today with my people.

OK, I’m supposed to inspire you. How’s this? Somehow I’ve been able to make a living doing what I love best for 50 years without ever having to get a real job. “But how can you be so disciplined?” friends always ask when I tell them my job is to get up every day at 6 A.M. Monday to Friday and think up insane stuff.

Easy!

If I didn’t work this hard for myself, I’d have to go work for somebody else. Plus I can go to my office one room away from my bedroom in my own house dressed in my underpants if I want to.

You’re lucky. When I went to school, my teachers discouraged every dream I ever had. I wanted to be the filthiest person alive, but no school would let me. I bet RISD would’ve. You could possibly even make a snuff movie here and get an A+. Hopefully you have been taught never to fear rejection in the workplace.

Remember, a no is free.

Ask for the world and pay no mind if you are initially turned down. A career in the arts is like a hitchhiking trip: All you need is one person to say “Get in” and off you go. And then the confidence begins.

Of course, play is equally as important to your education as work. And in the fine arts, play is work, isn’t it? What other field allows you to deduct as business expenses from your taxes gangsta rap, Gaspar Noé’s movies, even vintage porn as long as you use it for research?

Remember: You must participate in the creative world you want to become part of.

So what if you have talent? Then what? You have to figure out how to work your way inside. Keep up with what’s causing chaos in your own field.

If you’re a visual artist, go see the shows in the galleries that are frantically competing to find the one bad neighborhood left in Manhattan to open up in.

Watch every movie that gets a negative review in the New York Times and figure out what the director did wrong.

Read, read, read!

Watch people on the streets. Spy, be nosy, eavesdrop.

And, as you get older, you’ll need youth spies that will keep you abreast of new music that nobody has heard of yet or body-piercing mutilations that are becoming all the rage – even budding sexually transmitted disease you should go to any length to avoid.

Never be like some of my generation who say “We had more fun in the ’60s.” No, we didn’t! The kids today who still live with their parents who haven’t seen them in months but leave food outside their bedroom doors are having just as much fun shutting down the government of foreign countries on their computer as we did banning the bomb.

Today may be the end of your juvenile delinquency, but it should also be the first day of your new adult disobedience.

These days, everybody wants to be an outsider, politically correct to a fault. That’s good. I hope you are working to end racism, sexism, ageism, fatism.

But is that enough?

Isn’t being an outsider sooo 2014? I mean, maybe it’s time to throw caution to the wind, really shake things up, and reinvent yourself as a new version of your most dreaded enemy – the insider. Like I am.

Ha! The final irony: A creatively crazy person who finally gets power. Think about it: I didn’t change. Society did. Who would have ever thought a top college like RISD would invite a filth elder like myself to set an example to its students? See? There’s hope for everybody.

You need to prepare sneak attacks on society. Hairspray is the only really devious movie I ever made. The musical based on it is now being performed in practically every high school in America – and nobody seems to notice it’s a show with two men singing a love song to each other that also encourages white teen girls to date black guys. Pink Flamingos was preaching to the converted. But Hairspray is a Trojan horse: It snuck into Middle America and never got caught. You can do the same thing.

Listen to your political enemies, especially the smart ones, and then figure out a way to make them laugh. Nobody likes a bore on a soapbox. Humor is always the best defense and weapon. If you can make an idiot laugh, they’ll at least pause and listen before they do something stupid – to you.

Refuse to isolate yourself. Separatism is for losers. Gay is not enough anymore. It’s a good start, but I don’t want my memoirs to be in the gay section near true crime at the back of the bookstore next to the bathrooms. No! I want it up front with the best-sellers. And don’t heterosexual kids actually receive more prejudice in art schools today than the gay ones? Things are a-changing. It’s a confusing time.

This might be time for a trigger warning. Uh, the amazing concept I’ve heard about is where you’re supposed to warn students if you’re gonna talk about something that challenges their values? I thought that’s why you went to college. My whole life has been a trigger warning. But you have been warned. So the trigger warning is [in] effect, and now back to the prepared speech.

Uh, don’t hate all rich people. They’re not all awful. Believe me, I know some evil poor people, too. We need some rich people: Who else is going to back our movies or buy our art? I’m rich! I don’t mean money-wise.

I mean that I have figured out how to never be around assholes at any time in my personal and professional life. That’s rich. And not being around assholes should be the goal of every graduate here today.

It’s OK to hate the poor, too, but only the poor of spirit, not wealth. A poor person to me can have a big bank balance but is stupid by choice – uncurious, judgemental, isolated and unavailable to change.

I’m also sorry to report there’s no such thing as karma. So many of my talented great friends are dead and so many of the fools I’ve met and loathed are still alive. It’s not fair, and it never will be.

Parents, now it’s time to talk to you.

God, these kids can be brats, can’t they? Entitled little bastards. Do they think you’re made of money? Can’t they give you a second to adjust to such social changes as sexual reassignment surgery, horn implants, and the political rights of the adult-baby community?

And, young adults, maybe today is the day you stop blaming your parents for every problem you’ve ever had. Yes, it’s a drag you were kept locked in a cardboard box under their bed and daily whipped with a car ærial, but it’s time to move on. We’ve all been dealt a hand. Deal with it! Whining is never appealing in a college graduate.

And, parents, vice-versa: You don’t get to order up your kids, either. Maybe your daughter did tattoo her entire face. Well, work with that you got! Think positively: Maybe she’ll open a fancy tattoo parlour in Paris.

I’m touched to sometimes see distraught parents bringing their angry and defiant teenage children with them to see my spoken-word show in a last-ditch effort to bond. At least both sides are trying. The truce of maturity will come to families if every member is patient. I often look back in wonder at how understanding my parents were. Dr. Spock didn’t have a chapter in his child-rearing book on how to handle you son if all he wanted to do as a child was play Car Accident. Yet my mom took me to junkyards as a toddler and let me wander around fantasizing ghoulishly.

My dad even lent me the money to make Pink Flamingos, and I paid him back in full – with interest. But, looking back, did I really expect him to be thrilled that I had made one of the “most stupid, vile, repulsive films ever made,” as Variety called it?

My parents made me feel safe, and that’s why I’m up here today. That’s what you should try to do to your children too – no matter where you get your children these days.

Contemporary art’s job is to wreck what came before. Is there a better job description than that to aspire to? Here’s another trigger warning, and pardon [me] for [swearing]:

Go out in the world and fuck it up beautifully.


Design clothes so hideous that they can’t be worn ironically.

Horrify us with new ideas.

Outrage outdated critics. Use technology for transgression, not lazy social living.

Make me nervous!

And finally, count your blessings.

You got through college. You didn’t commit suicide, O.D., or have a nervous breakdown, and let’s remember the ones who did.

It’s time to get busy. It’s your turn to cause trouble – but this time in the real world, and this time from the inside.

Thank you very much.

__________

Credit for the transcript goes to here.