Showing posts with label project. Show all posts
Showing posts with label project. Show all posts
Sunday, August 21, 2016

‡ Sorry ‡


Rintik hujan tidak berhenti membasahi kota sejak pagi.
Matahari sudah terbenam tetapi belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Tidak cukup ringan untuk dilalui tanpa payung, tidak juga terlalu deras untuk membuat orang-orang berhenti beraktivitas.
Sekelompok pelajar berteduh di dalam pusat perbelanjaan, menikmati kebersamaan mereka. Pasangan muda masuk ke dalam kafe, menghabiskan Jumat malam bersama. Anak-anak menanti makan malam yang disiapkan orang tua mereka sambil menonton televisi.
Ada juga yang menikmati hujan, berjalan dengan tangan kiri menggenggam payung hitam favoritnya. Kakinya melangkah perlahan tanpa tujuan pasti dengan tangan kanan berlindung di dalam kantong jaket. Sesekali dia berhenti dan memandang lurus, seolah ada yang sedang berdiri menunggunya tidak jauh dari tempat ia berdiri. Beberapa detik kemudian, ia menjatuhkan pandangannya lagi ke tanah dan melangkah kembali.
Hampir setengah jam berlalu sebelum akhirnya sebuah bangunan kecil menarik perhatiannya.
Magia…,” ia membaca pelan papan nama sederhana yang terpasang di atas pintu kayu berwarna cokelat. Keningnya mengerut, mencoba mengingat apakah dirinya pernah melewati tempat ini sebelumnya. Sudah hampir setahun lamanya ia tinggal di area ini tetapi ingatannya tidak pernah merekam bangunan ini.
Dia berputar, siap untuk melangkah pergi, tetapi wangi yang tidak asing membuatnya terdiam di tempat. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan penciumannya. Dia memandang lekat-lekat pintu yang tertutup rapat dan mulai mempertanyakan apakah ini semua hanya imajinasinya.
Seolah ada yang mendorongnya masuk, dia menutup payungnya dan membuka pintu tersebut untuk menemukan sebuah toko kopi di dalamnya. Toko yang sederhana, hanya dilengkapi dengan empat meja bundar dan delapan kursi, dua meja panjang dengan beberapa botol berisi biji kopi yang terjejer rapi di atasnya, dan sebuah meja yang terbuat dari kaca di tengah-tengah ruangan.
Belum sempat dia mempertanyakan desain ruang yang ganjil ini, suara sang pemilik toko menyapanya ramah, “Halo, Nona.”
Seorang pria yang mengenakan kemeja putih rapi tersenyum. Berdiri di balik meja kaca, tangannya sedang menggenggam sebuah cangkir indah dari porselen. Usianya tampak tidak lebih dari lima puluh tetapi penerangan toko yang remang membuatnya terlihat lebih tua.
“Selamat datang di Magia,” ia meletakkan cangkir dengan hati-hati. “Apa yang bisa saya siapkan untuk Anda di hari Jumat malam ini, Nona?”
“Ah, aku…,” dia terdiam sesaat, kebingungan memilih kata sebagai jawaban. Dia bahkan tidak tahu tempat apa ini sebelum masuk ke dalamnya. Dia tidak punya niat sama sekali untuk singgah di mana pun malam ini. “Maaf, aku tadi ha-“
Pria itu menggeleng pelan, “Jangan minta maaf, Nona. Kunjunganmu ke Magia bukan sebuah kesalahan.”
Sang pemilik toko berjalan ke salah satu meja, menarik kursi kosong dan memberi tanda kepada satu-satunya pengunjung tokonya untuk duduk, “Silahkan, Nona. Saya yakin Anda akan merasa lebih nyaman menikmati kopi sambil duduk.”
Keraguan pasti tampak begitu jelas di wajahnya karena percakapan mereka berikutnya dibuka dengan perkenalan diri, “Nama saya Aisling. Saya pemilik Magia, sebuah toko kopi kecil yang ada bagi mereka yang membutuhkan. Boleh saya tahu nama Anda, Nona?”
Ristretta…,” ia memberitahu namanya dengan pelan. Tangannya menggenggam payung yang masih basah dengan erat.
Ia beradu pandang dengan Aisling langsung dan baru tersadarlah dia bahwa bola mata pria itu berwarna ungu. Warna yang begitu indah, memikat, sekaligus magis.
“Anda bisa meletakkan payung kesayangan Anda di samping pintu. Mari, duduklah. Saya akan menyiapkan minuman hangat untuk Anda,” ujar Aisling kalem, masih menunggu Ristretta untuk duduk di kursi yang telah ia siapkan. “Saya mungkin bukan barista terbaik di dunia ini, tapi saya yakin bisa menyiapkan minuman yang Anda butuhkan saat ini.”
Ristretta memang merasa agak kedinginan setelah berjalan tak tentu arah di luar dan dia juga merasa tidak etis jika mengacuhkan Aisling yang sudah begitu ramah padanya. Dia meletakkan payung hitamnya di samping pintu kemudian mengangguk pelan ke Aisling. Setelah Ristretta duduk di kursi, Aisling berdiri di samping meja, siap melayani tamunya.
“Apakah ada kopi tertentu yang ingin Anda minum, Nona Ristretta?” tanya Aisling. “Saya bisa membuatkan semua jenis kopi yang Anda inginkan tetapi, kalau saya boleh memberi saran, ada baiknya Anda meminta saya membuatkan secangkir kopi yang Anda butuhkan.”
Jari-jari Aisling yang mengenakan sarung tangan saling bersilang, sebuah gestur yang mengingatkan Ristretta pada kenangan manis yang justru ingin membuatnya menangis. Atmosfir hangat yang menyelimuti ruangan membuat Ristretta seperti tercekik oleh kenyataan bahwa semua ini hanyalah toko kopi milik orang lain, bukan memorinya yang hidup kembali.
Aisling menatap wanita muda yang sedang memejamkan matanya dengan tenang seolah sedang membaca pikirannya, “Ristretta. Nama yang sangat indah. Apakah mungkin nama Anda berasal dari jenis kopi Ristretto?”
Pertanyaan singkat tersebut membuatnya tersentak. Ia mendongakkan kepalanya untuk melirik Aisling sebelum menjawab, “Iya. Ayahku yang memilih nama itu. Ristretto, kopi yang bahkan lebih pekat daripada Espresso.”
“Kalau begitu, apakah Anda keberatan jika saya menyiapkan Ristretto untuk Anda?” Aisling memiringkan kepalanya sedikit, menanti respon dari tamunya. “Tidak butuh waktu lama untuk menyiapkan secangkir yang sempurna untuk Anda.”
Ristretta tidak langsung menjawab. Butuh tiga detik untuknya menuturkan apa yang ia pikirkan, “Sudah lebih dari setahun sejak terakhir aku menyentuh kopi. Apa aku bisa memesan teh atau minuman lain saja, Tuan Aisling?”
Tidak menunjukkan ekspresi terkejut sama sekali, Aisling tetap menyunggingkan senyumnya, “Tentu saja bisa, Nona. Hanya saja, seperti yang saya katakan, saya sangat menyarankan Anda untuk memesan kopi yang Anda butuhkan.”
Hening sejenak.
“Kopi Toraja…,” pilihan tersebut terlontar dari bibir Ristretta. “Kopi Toraja Robusta.”
Senyum Aisling semakin merekah mendengar pilihan tamunya, “Toraja. Pilihan yang sangat menarik, Nona. Mohon berikan saya waktu untuk menyiapkannya.”
Sang pemilik toko berjalan ke meja kacanya dan mengambil bahan kopi yang tersimpan di laci meja. Saat melihat Ristretta mengamatinya, Aisling membuka percakapan kembali, “Tidak banyak tamu saya yang memilih kopi Toraja. Terlebih lagi yang memiliki nama terinspirasi oleh kopi.”
Ristretta menghela nafas, memaksakan senyum tipis, “Ristretto, berasal dari bahasa Italia yang berarti ‘terbatas’. Aku tidak mengerti mengapa ayahku memilih nama ini. Nama yang sangat membatasi. Nama yang sangat…”
Ia terdiam kembali, menenggelamkan dirinya dalam ingatan masa kecilnya. Ristretta memejamkan mata, teringat sosok ayahnya yang selalu menyiapkan kopi setiap pagi. Wangi yang selalu memenuhi seisi rumah dan membangunkannya dari tidur lelap. Wangi favorit yang sekarang justru paling ia hindari.
“Ayahku juga seorang barista,” ia melanjutkan dengan mata yang terpaku pada bangku kosong di seberangnya. “Kopi Toraja adalah favoritnya. Katanya, itulah kopi yang dia minum saat bertemu dengan ibuku. Mereka bertemu di Indonesia tiga puluh tahun lalu saat ayahku sedang mempelajari kopi. Ibuku bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan dia yang mengantarkan kopi pesanan ayahku. Terdengar klise tapi, ya, mereka selalu menceritakan itu dengan wajah berseri-seri setiap kali ditanya mengapa ayahku menyukai kopi Toraja.”
“Ah, cerita yang sangat manis,” Aisling mengangguk, melanjutkan persiapan kopi yang hampir selesai. “Tentu Anda juga memiliki cukup banyak pengetahuan mengenai kopi, Nona.”
Ristretta memilih untuk tidak menanggapi pernyataan itu. Matanya kembali terpejam bersamaan dengan kenangan yang terputar di benaknya bagaikan rekaman film. Kejadian setahun lalu masih begitu jelas dalam ingatannya seolah semua baru terjadi kemarin.
Suara teriakan ayahnya yang menggema, memerintahkan Ristretta untuk masuk kembali ke dalam rumah. Nada suaranya yang meninggi, membalas ayahnya dengan emosi tak terkendali, menyampaikan betapa kecewa Ristretta karena ayahnya tidak bisa mengerti apa yang ia inginkan.
“Kalau Ibu masih ada, dia pasti lebih memahamiku daripada Ayah!”
Kata-kata yang begitu Ristretta sesali karena pernah ia lontarkan hari itu membuat hatinya seperti tertusuk kembali oleh ribuan jarum tak terlihat. Dia menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir menetes akibat rasa penyesalan.
“Aku pindah ke kota ini tahun lalu untuk bekerja sebagai penulis lagu. Ayahku tidak setuju. Dia ingin aku meneruskan usaha kafe miliknya, kafe yang didirikan olehnya dan ibuku. Sejak ibuku meninggal karena kecelakaan mobil, dia semakin keras kepala. Padahal dulu dia masih mempertimbangkan permintaanku untuk mengambil karir di dunia musik.
“Kami bertengkar hebat di hari ulang tahunku. Aku lari dari rumah dan tinggal di rumah sepupuku. Setiap Sabtu, ayahku akan datang dan membujukku untuk pulang. Setiap kali juga aku akan mengunci diriku di kamar dan menolak untuk bertemu dengannya. Sungguh kekanakan, bukan?” Ristretta mengepalkan tangannya dengan kuat.
Sembari Ristretta melanjutkan cerita hidupnya yang tidak pernah ia ceritakan pada orang lain, Aisling telah selesai menyeduh kopi Toraja yang dipesan. Ia mengantarkan gelas kopi berwarna hitam ke meja Ristretta, “Silahkan, Nona. Saya harap kopi seduhan saya sesuai dengan selera Nona Ristretta.”
Wangi kopi yang familiar kembali tercium dan air matanya tidak bisa lagi terbendung. Ristretta mulai terisak, “Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses sebagai penulis lagu. Aku hanya ingin dia bangga karena aku bisa mengejar mimpiku. Aku hanya…”
Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat. Senyum Aisling sudah menghilang dan matanya memancarkan kesedihan yang mendalam ketika tamunya melanjutkan, “Setelah dua bulan, dia berhenti datang untuk membujukku. Dia menulis surat demi surat yang tidak pernah aku balas. Kemudian surat berhenti dikirim. Aku pikir dia sudah tidak peduli. Aku pikir…”
Ristretta menyeka air matanya dengan cepat, “Aku baru merencanakan untuk pulang ke rumah, membuktikan padanya aku sudah sukses dengan lagu-lagu yang kutulis tapi…”
Lanjutan dari kisahnya tidak dia sampaikan kepada Aisling. Bahwa kabar dari tetangganya lebih dahulu mencapai dirinya sebelum ia sempat membeli tiket pulang ke kota kelahirannya. Bahwa ia tidak akan pernah melihat senyum ayahnya lagi. Bahwa ia tidak akan pernah mencicipi kopi seduhan yang dibanggakan ayahnya. Bahwa kata-kata terakhirnya kepada orang yang begitu disayanginya adalah tidak lebih dari emosi sesaat.
Ristretta memendam semua percakapan yang terjadi di rumah sakit sebagai rahasia.
“Dia terus menerus menceritakan betapa suksesnya dirimu kepada semua tamu yang datang ke kafe. Kau harus melihat wajah ayahmu saat kami tahu lagu yang kau tulis diputar di televisi. Dia sangat bangga, Ris.”
Tetangga ayahnya menyampaikan hal itu pada Ristretta beberapa jam setelah dia tiba di rumah sakit. Ristretta sudah berhenti menangis, masih terus mempertanyakan mengapa ayahnya masih memaksakan dirinya untuk bekerja di musim dingin meskipun dirinya sedang sakit, masih tidak mengerti mengapa dia tidak merawat dirinya sendiri dengan baik.
“Tidak mungkin. Dia membenciku. Dia menyerah menghadapiku karena aku terlalu keras kepala.”
Tanggapan Ristretta yang dingin itu hanya mendapatkan senyuman hangat dan pertanyaan balik yang membekas di ingatannya.
“Benarkah begitu? Apakah dia yang menyerah menghadapimu atau kau yang menyerah terlebih dahulu, Ris?”
Ayahnya berhenti menulis surat karena tahu Ristretta baik-baik saja. Setiap hari dia akan memutar lagu yang ditulis Ristretta di kafe. Setiap kali ada artikel mengenai anaknya, dia akan mengumpulkannya dan membacanya berkali-kali dengan senyum bangga.
Sehari setelahnya, Ristretta mengunjungi rumah yang sudah setahun ia tinggalkan dan menangis sepanjang malam. Di samping kumpulan artikel mengenai kopi yang selalu disimpan ayahnya, ada scrapbook yang berisi foto-foto Ristretta sejak bayi hingga dewasa. Ulang tahun pertama, Natal pertama, kelulusan SMA, wisuda kuliah, hingga foto saat lagu pertama yang Ristretta tulis dirilis.
Di halaman terakhir, ditempelkan foto Ristretta dan ayahnya sebulan setelah ibunya meninggal. Ristretta dan ayahnya duduk berdampingan, memainkan piano. Di pinggir halaman ada tulisan tangan ayahnya.

“Ris, kamu berbakat dan Ayah tahu itu.
Ayah hanya belum siap harus sendirian dalam berbagi kisah tentang kopi yang Ayah cintai sejak dulu.
Ayah lupa kamu juga perlu menemukan apa yang kamu cintai.
Saat kamu kembali, biarkan Ayah menyeduh kopi Toraja favoritmu dan kamu memainkan piano untuk Ayah.”

Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam kepala Ristretta. Bagaimana perasaan ayahnya saat dia berteriak? Apa yang ayahnya pendam saat ia kabur dari rumah? Apa yang ayahnya pikirkan saat Ristretta menolak bicara padanya? Apa yang ayahnya rasakan karena anaknya tidak pernah membalas suratnya?
Semua pertanyaan tersebut tidak akan pernah terjawab.
Ristretta tahu dan itulah alasan mengapa dia tidak pernah bisa menulis apapun lagi selama setahun terakhir ini.
“Minumlah,” Aisling mendorong gelas lebih dekat ke gadis yang masih menyeka air matanya dengan tangan kosong. “Percayalah, ini akan membuatmu merasa lebih baik, Nona.”
Aneh. Sesungguhnya aneh bagi Ristretta untuk diminta meminum kopi di saat dirinya sedang menangis. Terlebih oleh orang yang baru ia temui hari ini. Akan tetapi ada sesuatu yang memberikan ketenangan dalam nada bicara Aisling. Sesuatu yang membuatnya merasa percaya.
Ristretta mencoba menghentikan tangisnya, menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menempelkan bibirnya di pinggir gelas. Ia menghirup wangi kopi Toraja yang begitu ia rindukan dengan mata terpejam kemudian ia menenggaknya.
Hangat.
“Bagaimana rasanya? Pas?”
Mata Ristretta dalam sekejap terbuka, terkejut mendengar suara yang melontarkan pertanyaan itu. Ia hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya ketika menemukan seseorang telah duduk di hadapannya, di kursi yang beberapa detik lalu masih kosong.
“A-A-A-Ayah?!” Ristretta meletakkan gelas dengan keras, membuat sebagian kopi tumpah. “Apa… A-Apa yang…”
Ayah Ristretta tertawa kecil melihat reaksi anaknya, “Oh, Ris, kau menumpahkan kopi yang begitu istimewa.”
Dia berdiri, mendekati anaknya untuk menyentuh pipi Ristretta yang masih dingin, “Kau melewati begitu banyak rintangan sendirian, Ris. Ayah minta maaf karena tidak bisa mendampingimu melewatinya.”
Air mata kembali menetes seiring Ristretta terbata-bata menyampaikan kata-katanya, “Ayah, aku… Aku…”
Dia tidak tahu apakah ini hanya mimpi, ilusi, imajinasi, ataupun kata lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan situasi yang mustahil ini. Dia hanya tahu sentuhan ayahnya begitu nyata, begitu hangat.
“Ayah, maafkan aku…,” Ristretta akhirnya mengucapkan apa yang begitu ingin ia sampaikan pada ayahnya. “Maaf karena aku menyakitimu dengan kata-kataku. Maaf karena aku meninggalkanmu. Maaf karena aku tidak mencoba mengerti perasaanmu. Maaf… Ayah, aku menyayangimu.”
Bersamaan dengan ungkapan kasihnya, Ristretta memeluk ayahnya erat dan menangis seperti anak kecil. Ayahnya menepuk punggungnya pelan dan berbisik lembut, “Sudah, tidak apa-apa, Ris. Tidak apa-apa. Ayah juga salah. Berhentilah menyalahkan dirimu, Ris. Kau sudah menanggung beban yang begitu berat sendirian. Berkaryalah dan buat ayah ibumu bangga ya.”
Melepaskan pelukannya perlahan, ayahnya menatap wajah Ristretta dengan senyum penuh kebanggaan seorang ayah, “Kau sudah dewasa, Ris. Ayah bangga membesarkan putri sehebatmu. Ingat, yang tidak ada hanyalah wujudnya, tetapi kenangan akan selalu ada. Ingatlah ayah saat kamu minum kopi, Ris. Ayah selalu ada untukmu.”
“Ayah menyayangimu.”
Ayah Ristretta mengecup kening anak tunggalnya sebagai salam perpisahan dan, detik berikutnya, Ristretta sudah terduduk kembali di kursinya dengan Aisling berdiri di sampingnya. Tidak ada tanda-tanda pernah ada orang lain di ruangan itu. Kopi Toraja yang disiapkan Aisling pun masih mengepulkan asap.
“Saya rasa kopi Toraja ini cukup pas dengan selera Nona,” Aisling tersenyum sopan. “Hujan di luar juga sudah reda. Silahkan menikmati sisa kopi Anda dengan santai, Nona.”
“Tunggu!” Ristretta menghentikan sang barista dengan cepat. “Aku… Boleh aku bertanya sesuatu?”
Aisling mengangguk, “Tentu saja.”
“Apa… Menurut Anda, mengapa ayahku memilih nama Ristretta?” pertanyaan yang terdengar begitu acak dan konyol mungkin tetapi, entah mengapa, Ristretta yakin Aisling bisa menjawabnya.
Pemilik toko Magia itu menjawab dengan kalem, “Anda telah melakukan apa yang perlu Anda lakukan, jadi sudah sepantasnya saya juga memberikan jawaban yang Anda butuhkan. Ristretto Espresso hanya mengambil tiga perempat ons dari shot untuk menghindari espresso yang pahit, Nona. Ristretto hanya mengambil bagian yang terbaik. Saya yakin Ayah Anda memberikan nama indah Anda dengan harapan yang terbaik.”
Beberapa menit setelahnya, Ristretta sudah menghabiskan kopi Toraja dalam diam tetapi dengan perasaan yang jauh lebih ringan dari sebelum ia melangkah masuk ke Magia. Ia mengambil payungnya yang sudah kering dan mengucapkan terima kasih pada Aisling, “Terima kasih, Tuan. Aku… Aku akan singgah lagi lain kali.”
“Ah, lain kali…,” Aisling mengulang pelan. “Saya harap saat itu masih lama tapi, jika memang Anda membutuhkan Magia kembali, saya akan menyambut Anda dengan kopi terbaik.”
Aneh. Semua yang terlihat, terdengar, dan terjadi di Magia begitu aneh.
Begitu magis.
Tidak lama setelah Ristretta meninggalkan Magia, lonceng di atas pintu kembali berbunyi, pertanda tamu baru untuk Aisling.
“Selamat datang di Magia. Apa yang bisa saya siapkan untuk Anda?”

˜
END



Author's Note:
Magia (Latin): magic
Aisling (Irish): dream



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Monday, December 14, 2015

‡ It’s Alright ‡


“Eva?”
Suara lembut yang familiar membangunkan Eva dari tidurnya. Dengan enggan dia membuka matanya perlahan, bergumam pelan, “Hmm? Kenapa, Ma?”
“Sudah jam empat. Taksimu tiba setengah jam lagi. Ayo cepat berberes,” ibu Eva menarik selimut biru favorit Eva, cara paling mudah untuk membuat anak perempuan satu-satunya itu untuk meninggalkan tempat tidur. “Nanti kau ketinggalan pesawat. Mau sarapan apa?”
Eva memaksa dirinya untuk mengumpulkan kesadaran penuh sebelum memberitahu ibunya bahwa dia akan menikmati sarapan di bandara bersama dengan rekan kerjanya. Ibunya hanya tersenyum sebelum meninggalkan kamar Eva, tanda bahwa dia sudah menduga anaknya akan menjawab demikian.
“1 Desember...,” Eva memandang kalender kecil yang ia letakkan di meja. Ada beberapa coretan kecil dan rapi di beberapa angka, menandakan momen yang perlu diingat oleh Eva. Di tanggal hari ini, ada tulisan ‘Flight #12’ di sisi kiri angka 1.
Selama satu tahun terakhir ini, Eva ditugaskan oleh kantornya untuk dinas di luar kota untuk sebuah proyek yang cukup besar. Sebagai anak perempuan tunggal di keluarga, ayahnya cukup khawatir dengan aktivitas Eva yang sibuk. Ia hanya pulang ke rumah untuk tiga hari dalam sebulan, lebih banyak menghabiskan hari-harinya dengan rekan kerjanya dibanding keluarga.
Ibunya lah yang berhasil meyakinkan sang kepala keluarga untuk membiarkan Eva menikmati pekerjaannya.
“Eva sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Lagipula bukankah ini berarti dia dipercaya oleh atasannya sampai dia dikirim ke luar kota?”
Pagi ini, seperti bulan-bulan sebelumnya, ibu Eva mengantar anaknya ke taksi yang sudah menunggu, siap mengantarkan Eva ke bandara. Langit masih gelap dan udara dingin berhembus tapi keduanya tidak mengeluh, seolah ini adalah hal yang sudah biasa.
“Pergi dulu ya,” Eva tersenyum, membuka pintu taksi. “Nanti kukabari jika sudah sampai.”
“Minum air yang banyak ya. Kalau ada apa-apa, telepon saja,” ibunya melambaikan tangan, memandang Eva yang masuk ke dalam taksi. “Hati-hati ya.”
Tidak ada cium peluk hangat seperti yang dilakukan anak dan ibu pada umumnya. Tidak ada ucapan ‘I love you’ yang dibisikkan. Yang ada hanyalah percakapan singkat selama kurang dari satu menit yang selalu dilakukan saat Eva akan berangkat ke bandara, meninggalkan rumah kembali selama sebulan.


☆ ☆ 


“Ma, aku sudah sampai.”
Eva mengetuk tombol ‘kirim’ di layar telepon genggamnya. Ia menyimpannya kembali di saku jaket sebelum mengikuti rekan kerjanya ke arah pintu keluar bandara. Eva menghentikan langkahnya untuk sedetik saat notifikasi pesan baru masuk.
“Ok,” hanya itu balasan pesan dari ibunya.
Eva tersenyum saat ingat rekan kerjanya yang pernah kebingungan dengan bentuk komunikasi Eva dengan orang tuanya. Sebagai anak perempuan, seperti ada aturan yang tidak tertulis, Eva sangat dekat dengan ibunya dibandingkan tiga saudara laki-lakinya.
Memilih baju baru, berbelanja kebutuhan rumah, menonton drama di televisi, mencoba resep kue baru. Semuanya adalah aktivitas yang dijalani Eva dan ibunya bersama; hal yang tidak dilakukan oleh para pria di rumah mereka.
Bagi Eva, tidak akan ada yang berubah di antara mereka meskipun ia sibuk bekerja. Setiap kali dia pulang, dia akan meluangkan satu hari untuk menemani ibunya pergi ke pusat perbelanjaan, mencoba makanan baru, ataupun menonton film di bioskop. Eva juga tidak pernah lupa untuk membawakan oleh-oleh untuk keluarganya.
Meskipun di bulan Juni kakak laki-lakinya pergi ke luar negeri untuk bekerja, tidak ada yang berubah di rumah. Ibunya berkata, “Tidak apa-apa. Baguslah kakakmu mendapatkan kesempatan untuk mencari peruntungan di luar negeri.”
Meskipun di bulan Agustus lalu, ayahnya juga bertugas ke luar negeri selama satu tahun, ibunya tertawa kecil, “Tidak apa-apa. Gaji di sana sangat baik. Lumayan untuk membantu biaya kuliah adik kamu yang tahun depan lulus SMA kan?”
Meskipun ketika tiga bulan lalu, ketika Eva menerima kabar buruk bahwa kakeknya meninggal dikarenakan lanjut usia, ibunya justru yang menenangkan Eva meskipun jelas sekali ibunya baru saja menangis, “Tidak apa-apa. Penerbanganmu besok kan? Di sini Mama sudah urus semuanya. Kamu baik-baik saja di sana. Besok baru kamu bantu. Tidak apa-apa ya, Eva.”
“Tidak apa-apa…,” Eva bergumam, memandang keluar jendela mobil yang bergerak. Dalam perjalanannya ke kantor klien, hujan deras mendadak turun, mengguyur kota yang sudah begitu familiar bagi Eva.
“Mana mungkin semuanya selalu tidak apa-apa?”


☆ ☆  

 
Jam menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima puluh delapan menit. Rekan kerjanya sudah tertidur lelap tetapi Eva justru masih duduk di ruang tamu apartemen mereka, menunggu panggilan telepon yang sudah ia prediksi.
Lima menit kemudian, telepon genggamnya berbunyi. Eva langsung tersenyum lebar saat melihat tulisan ‘Mama’ di layar. Ia menerima panggilan tersebut dengan sangat riang, “Halo?”
Eva bisa mendengar tawa adiknya dari telepon, puas karena rencana mereka berjalan dengan sempurna. Ibunya juga tertawa, “Aduh, kalian ini mengagetkan Mama saja. Mama pikir adikmu kenapa harus membangunkan Mama tengah malam begini. Terima kasih ya, terima kasih. Terima kasih. Mama suka martabak ulang tahunnya. Mama suka baju batik yang kalian pilih.”
Senyum Eva tidak hilang tetapi setetes air mata sudah membasahi pipinya.
Ulang tahun ibunya adalah 2 Desember dan Eva tidak bisa memundurkan jadwal penerbangannya. Dia ingin membuat ibunya senang tapi dirinya juga tidak bisa berada di sana pada saat yang bersamaan. Ulang tahun tanpa suaminya dan dua anaknya di rumah, sudah tentu akan berbeda dan lebih sepi.
“Selamat ulang tahun ya, Ma. Maaf aku tidak bisa di sana hari ini,” ujar Eva kalem, menghapus air matanya sendiri.
“Tidak apa-apa,” Eva bisa membayangkan ibunya tersenyum saat mengatakan hal ini. “Justru kalian tidak perlu repot-repot begini. Kau pasti lelah kan hari ini tapi masih belum tidur juga hanya untuk menunggu telepon Mama.”
Eva punya ribuan kata yang ingin disampaikan untuk ibunya.
Maaf karena dia belum menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya seperti anak-anak lain. Maaf karena begitu banyak hal yang masih belum bisa ia lakukan untuk keluarga. Maaf karena dia tidak bisa menemani ibunya di hari yang istimewa ini.
Terima kasih karena telah membesarkannya. Terima kasih karena selalu menyayanginya. Terima kasih karena selalu membuatnya bersyukur telah dilahirkan ke dunia ini.
Aku sayang Mama.
Eva punya ribuan kata yang ingin diucapkan tetapi ia yakin ibunya memahami dirinya lebih dari siapapun di dunia ini.
Oleh karena itu Eva hanya mengucapapkan dua kata singkat yang berarti begitu dalam.
“Tidak apa-apa.”


END

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co