“Eva?”
Suara lembut yang familiar membangunkan Eva dari tidurnya. Dengan
enggan dia membuka matanya perlahan, bergumam pelan, “Hmm? Kenapa, Ma?”
“Sudah jam empat. Taksimu tiba setengah jam lagi. Ayo cepat
berberes,” ibu Eva menarik selimut biru favorit Eva, cara paling mudah untuk
membuat anak perempuan satu-satunya itu untuk meninggalkan tempat tidur. “Nanti
kau ketinggalan pesawat. Mau sarapan apa?”
Eva memaksa dirinya untuk mengumpulkan kesadaran penuh sebelum
memberitahu ibunya bahwa dia akan menikmati sarapan di bandara bersama dengan
rekan kerjanya. Ibunya hanya tersenyum sebelum meninggalkan kamar Eva, tanda
bahwa dia sudah menduga anaknya akan menjawab demikian.
“1 Desember...,” Eva memandang kalender kecil yang ia letakkan di
meja. Ada beberapa coretan kecil dan rapi di beberapa angka, menandakan momen
yang perlu diingat oleh Eva. Di tanggal hari ini, ada tulisan ‘Flight #12’ di
sisi kiri angka 1.
Selama satu tahun terakhir ini, Eva ditugaskan oleh kantornya
untuk dinas di luar kota untuk sebuah proyek yang cukup besar. Sebagai anak
perempuan tunggal di keluarga, ayahnya cukup khawatir dengan aktivitas Eva yang
sibuk. Ia hanya pulang ke rumah untuk tiga hari dalam sebulan, lebih banyak
menghabiskan hari-harinya dengan rekan kerjanya dibanding keluarga.
Ibunya lah yang berhasil meyakinkan sang kepala keluarga untuk
membiarkan Eva menikmati pekerjaannya.
“Eva sudah dewasa. Dia pasti bisa menjaga dirinya sendiri.
Lagipula bukankah ini berarti dia dipercaya oleh atasannya sampai dia dikirim
ke luar kota?”
Pagi ini, seperti bulan-bulan sebelumnya, ibu Eva mengantar
anaknya ke taksi yang sudah menunggu, siap mengantarkan Eva ke bandara. Langit
masih gelap dan udara dingin berhembus tapi keduanya tidak mengeluh, seolah ini
adalah hal yang sudah biasa.
“Pergi dulu ya,” Eva tersenyum, membuka pintu taksi. “Nanti
kukabari jika sudah sampai.”
“Minum air yang banyak ya. Kalau ada apa-apa, telepon saja,”
ibunya melambaikan tangan, memandang Eva yang masuk ke dalam taksi. “Hati-hati
ya.”
Tidak ada cium peluk hangat seperti yang dilakukan anak dan ibu
pada umumnya. Tidak ada ucapan ‘I love
you’ yang dibisikkan. Yang ada hanyalah percakapan singkat selama kurang
dari satu menit yang selalu dilakukan saat Eva akan berangkat ke bandara,
meninggalkan rumah kembali selama sebulan.
☆ ☆ ☆
“Ma, aku sudah sampai.”
Eva mengetuk tombol ‘kirim’ di layar telepon genggamnya. Ia
menyimpannya kembali di saku jaket sebelum mengikuti rekan kerjanya ke arah
pintu keluar bandara. Eva menghentikan langkahnya untuk sedetik saat notifikasi
pesan baru masuk.
“Ok,” hanya itu balasan pesan dari ibunya.
Eva tersenyum saat ingat rekan kerjanya yang pernah kebingungan
dengan bentuk komunikasi Eva dengan orang tuanya. Sebagai anak perempuan,
seperti ada aturan yang tidak tertulis, Eva sangat dekat dengan ibunya
dibandingkan tiga saudara laki-lakinya.
Memilih baju baru, berbelanja kebutuhan rumah, menonton drama di televisi,
mencoba resep kue baru. Semuanya adalah aktivitas yang dijalani Eva dan ibunya
bersama; hal yang tidak dilakukan oleh para pria di rumah mereka.
Bagi Eva, tidak akan ada yang berubah di antara mereka meskipun ia
sibuk bekerja. Setiap kali dia pulang, dia akan meluangkan satu hari untuk
menemani ibunya pergi ke pusat perbelanjaan, mencoba makanan baru, ataupun
menonton film di bioskop. Eva juga tidak pernah lupa untuk membawakan oleh-oleh
untuk keluarganya.
Meskipun di bulan Juni kakak laki-lakinya pergi ke luar negeri
untuk bekerja, tidak ada yang berubah di rumah. Ibunya berkata, “Tidak apa-apa.
Baguslah kakakmu mendapatkan kesempatan untuk mencari peruntungan di luar
negeri.”
Meskipun di bulan Agustus lalu, ayahnya juga bertugas ke luar
negeri selama satu tahun, ibunya tertawa kecil, “Tidak apa-apa. Gaji di sana
sangat baik. Lumayan untuk membantu biaya kuliah adik kamu yang tahun depan
lulus SMA kan?”
Meskipun ketika tiga bulan lalu, ketika Eva menerima kabar buruk
bahwa kakeknya meninggal dikarenakan lanjut usia, ibunya justru yang
menenangkan Eva meskipun jelas sekali ibunya baru saja menangis, “Tidak
apa-apa. Penerbanganmu besok kan? Di sini Mama sudah urus semuanya. Kamu
baik-baik saja di sana. Besok baru kamu bantu. Tidak apa-apa ya, Eva.”
“Tidak apa-apa…,” Eva bergumam, memandang keluar jendela mobil
yang bergerak. Dalam perjalanannya ke kantor klien, hujan deras mendadak turun,
mengguyur kota yang sudah begitu familiar bagi Eva.
“Mana mungkin semuanya selalu tidak apa-apa?”
☆ ☆ ☆
Jam menunjukkan pukul sebelas malam lewat lima puluh delapan
menit. Rekan kerjanya sudah tertidur lelap tetapi Eva justru masih duduk di
ruang tamu apartemen mereka, menunggu panggilan telepon yang sudah ia prediksi.
Lima menit kemudian, telepon genggamnya berbunyi. Eva langsung
tersenyum lebar saat melihat tulisan ‘Mama’ di layar. Ia menerima panggilan
tersebut dengan sangat riang, “Halo?”
Eva bisa mendengar tawa adiknya dari telepon, puas karena rencana
mereka berjalan dengan sempurna. Ibunya juga tertawa, “Aduh, kalian ini
mengagetkan Mama saja. Mama pikir adikmu kenapa harus membangunkan Mama tengah
malam begini. Terima kasih ya, terima kasih. Terima kasih. Mama suka martabak
ulang tahunnya. Mama suka baju batik yang kalian pilih.”
Senyum Eva tidak hilang tetapi setetes air mata sudah membasahi
pipinya.
Ulang tahun ibunya adalah 2 Desember dan Eva tidak bisa
memundurkan jadwal penerbangannya. Dia ingin membuat ibunya senang tapi dirinya
juga tidak bisa berada di sana pada saat yang bersamaan. Ulang tahun tanpa
suaminya dan dua anaknya di rumah, sudah tentu akan berbeda dan lebih sepi.
“Selamat ulang tahun ya, Ma. Maaf aku tidak bisa di sana hari ini,”
ujar Eva kalem, menghapus air matanya sendiri.
“Tidak apa-apa,” Eva bisa membayangkan ibunya tersenyum saat
mengatakan hal ini. “Justru kalian tidak perlu repot-repot begini. Kau pasti
lelah kan hari ini tapi masih belum tidur juga hanya untuk menunggu telepon
Mama.”
Eva punya ribuan kata yang ingin disampaikan untuk ibunya.
Maaf karena dia belum menjadi anak yang bisa membanggakan orang
tuanya seperti anak-anak lain. Maaf karena begitu banyak hal yang masih belum
bisa ia lakukan untuk keluarga. Maaf karena dia tidak bisa menemani ibunya di
hari yang istimewa ini.
Terima kasih karena telah membesarkannya. Terima kasih karena selalu
menyayanginya. Terima kasih karena selalu membuatnya bersyukur telah dilahirkan
ke dunia ini.
Aku sayang Mama.
Eva punya ribuan kata yang ingin diucapkan tetapi ia yakin ibunya
memahami dirinya lebih dari siapapun di dunia ini.
Oleh karena itu Eva hanya mengucapapkan dua kata singkat yang
berarti begitu dalam.
“Tidak apa-apa.”
☆ END ☆
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Writing Project #DearMama
yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co
0 issues:
Post a Comment