Let me tell you a story.
There is a girl who
lives to write and there is a boy who loves to write.
☆ ☆ ☆
7 YEARS AGO.
“Menurutmu, mana yang lebih penting? Cinta atau uang?”
Gerakan kursi ayunan yang mereka nikmati perlahan melambat, seolah
ikut larut dalam pikiran keduanya. Yang satu menanti jawaban atas
pertanyaannya, yang satu lagi mempertanyakan maksud dari topik baru ini.
Seperti biasa, Frona menjawab pertanyaan sahabatnya dengan santai.
“Cinta tidak membuat seluruh keinginan manusia terkabul,” jawabnya
kalem, membiarkan ayunan berhenti sepenuhnya. “Hidup ini bukan dongeng dengan
ibu peri, jin lampu, ataupun keajaiban yang bisa terjadi karena… Well, kalau kata mereka, cinta sejati.”
Sahabatnya tertawa kecil, menggelengkan kepalanya seolah ia sudah
bisa menduga jawaban Frona, “Oh, come on,
Fro, bukankah sewaktu kecil kau pasti memimpikan kisah cinta seindah Cinderella
atau Putri Salju?”
“Dan karena itulah mereka disebut dongeng. Karena mereka tidak
nyata, Fidel,” Frona menolehkan kepalanya, menatap mata pemuda yang sudah
mengenalnya sejak di bangku SD. “Dunia ini tidak seindah yang dibayangkan.”
Fidel menggoyangkan kakinya pelan, membuat sedikit dorongan agar
ayunan mereka bergerak, “You do have a
point. However, Fro, aku rasa
manusia tidak bisa hidup dengan baik tanpa cinta. Aku tahu aku terdengar
konyol, tapi kau mengerti maksudku kan? Orang tua kita contohnya.”
“Wow, wow, hang on there,”
Frona memotong kalimat Fidel. “Aku tahu betul aku ada di dunia ini karena kedua
orang tuaku saling mencintai. Esensi pertanyaanmu adalah mana yang lebih
penting. Cinta ada di posisi kedua tapi itu tidak berarti aku menganggap hidup
lebih baik tanpa cinta. Itu dua hal yang berbeda.”
Fidel tertawa lebih lepas dari sebelumnya, “Ya, ya. Hey, we’re writers. Permainan kata
memang sangat penting kan dalam diskusi kita? Okay, how about this? Bukankah kita sering mendengar pernyataan
bahwa uang itu bisa dicari, tetapi cinta tidak bisa dibeli dengan uang?”
“Aku tidak bermaksud terdengar materialistis tapi, Del, di dunia
ini segala sesuatunya membutuhkan modal. Modal yang kumaksud di sini adalah
usaha, kecerdasan, dan, tentu saja, uang. Perasaan yang kita sebut cinta juga
sama. Usaha kedua belah pihak, kecerdasan untuk memenangkan hati satu sama
lain, dan uang untuk memiliki kehidupan yang layak,” mata Frona menerawang
langit malam yang penuh bintang. “Konyol jika ada yang lebih memilih cinta,
jatuh dalam kesulitan, lalu berpikir bahwa dia tidak ada pilihan lain.”
Malam itu, Fidel hanya tertawa mendengar jawaban Frona.
Malam itu, dua pendapat yang berbeda mengakhiri percakapan.
☆ ☆ ☆
The story continues.
He gives his time and
she takes her time.
Sometimes they wonder if
it will ever end.
☆ ☆ ☆
NOW.
“Menurutmu, mana yang lebih penting? Cinta atau uang?”
Mereka berdua saling bertukar pandang, membiarkan keheningan
mengisi diskusi mereka malam ini untuk beberapa detik.
Seperti pertama kali saat mereka membicarakannya dan seperti
hampir seluruh hal yang pernah mereka bahas, Frona adalah yang pertama membuka
mulut untuk menjawabnya.
“Cinta tidak membuatku sukses menjadi penulis,” tutur Frona,
mengangkat gelas berisi wine yang
dituangkan oleh sahabatnya dari meja. “Riset dari berbagai sumber yang kupilih
dengan cermat dari tabunganku yang membuat impianku tercapai.”
Fidel meletakkan botol wine
favoritnya dengan hati-hati, menyindir dengan canda, “Sedikit tidak sesuai
dengan kisah romantis yang kau tulis dan membuat pembaca terpikat.”
“Let me guess,” Frona
menghela nafas, yakin sepenuhnya dengan tebakan yang ia lontarkan. “Kau memilih
cinta dibanding uang, karena manusia adalah makhluk sosial. Cinta bukan sesuatu
yang bisa diperoleh dengan mutlak sementara uang adalah suatu pencapaian
berdasarkan strategi dan perencanaan.”
Fidel tertawa lepas mendengar kata-kata sahabatnya, “Wah, kau
memang hebat. Seratus persen tepat, Fro! Bukankah itu benar? I mean, now that you’re a published author,
don’t you think so? Kau sukses, bukumu ada di setiap toko buku di negeri
ini, orang menanti buku barumu. Kau merencanakan, kau berambisi, kau
mendapatkannya.”
“Apa bedanya dengan cinta?” Frona mengangkat bahunya, mendekatkan
bibirnya ke gelas. “Asal kau tahu, aku tidak punya pacar karena aku tidak ada
niat sama sekali, bukan karena alasan lain.”
Fidel mengangkat tangannya, tanda bahwa dia tidak bermaksud
memojokkan Frona, “Hey, aku tidak
punya hak untuk mempertanyakan statusmu. Aku sendiri tidak punya pacar kan? Kau
tahu perbedaannya, Fro, antara cinta dan uang. Cinta bukan sesuatu yang dinilai
dari statistik. Ada sesuatu yang disebut perasaan dan dia tidak punya tolak
ukur yang pasti. Oleh karena itu tidak ada mata kuliah Ilmu Cinta kan?”
Hampir tersedak karena kata-kata Fidel, Frona segera meletakkan
gelasnya, menahan tawa, “Okay, that’s
funny. Mari kita ubah sudut pandang kita sebentar. Anggaplah aku tidak
punya rumah sebagus ini lalu aku menikah. Kehidupanku normal, semuanya
tercukupi. Mendadak, bomb, terjadilah
kecelakaan dan aku sekarat. Uang kami hanya cukup untuk menjalani hari-hari
yang biasa dan tidak bisa membayar biaya pengobatan yang sangat besar.
Sekarang, apakah sebuah kecupan akan menyembuhkanku?”
“Contoh yang sangat tidak menyenangkan,” Fidel memicingkan
matanya, memberikan tatapan tajam yang dibuat-buat. “Kalau itu kasusnya,
bukankah itulah alasan kita butuh yang namanya perencanaan? Tabungan? Asuransi?
Lagipula-“
“Oh please, Fidel, tidak
semua orang di dunia ini mendapatkan gaji yang memadai untuk semua rencana yang
kau sebutkan,” Frona memotong kalimat sahabatnya. “Oke, karena aku seorang
wanita, mari kucoba dengan argumen lain. Jika kau memiliki adik perempuan dan
kekasihnya adalah seorang pekerja biasa, tidak memiliki rumah, tidak ada
tanda-tanda naik jabatan, dan punya banyak hutang. Apakah kau akan membiarkan
adikmu menjalani masa depan dengan pria itu?”
“If they do love each other,
why not?” Fidel menjawab enteng dan responnya membuat Frona menepuk
jidatnya, tidak percaya dengan jawaban yang dianggapnya konyol. “Fro, uang itu
bisa dicari, tapi takdir adalah sesuatu yang dipertahankan. Kalau pria yang ia
pilih adalah pemalas dan tidak memiliki niat untuk meniti masa depan yang lebih
baik, itu lain cerita. Kita memilih pasangan bukan karena kekayaannya kan?
Kalau dia memang serius dengan adikku, dia pasti akan memperjuangkan dan
membuktikan dia akan menjaga adikku.”
Frona meneguk habis minumannya dan tertawa hampa, “Takdir… You’re such a hopeless romantic, Del. Life is love for you, isn’t it?”
“Dan kau sungguh sarkastis,” Fidel membalas, mengisi gelas Frona
kembali. Ia mengisi gelasnya yang juga sudah kosong sebelum topik ini dimulai,
“Aku setuju bahwa uang itu penting, tetapi menolak cinta karena alasan materi
sungguh sesuatu yang tidak masuk akal. Kutekankan, aku memperhitungkan
formulamu yang lain: usaha dan kecerdasan.”
“Aku realistis, bukan sarkastis,” Frona mengoreksi, tidak merasa
sakit hati dengan pernyataan yang tajam. “Del, aku yakin tidak ada seorang pun
di dunia ini yang ingin hidup kesulitan sementara uang bisa menolong mereka.
Daripada itu, bagaimana kalau kau lebih fokus untuk menerbitkan tulisanmu?”
Pertanyaan Frona membuat ekspresi Fidel berubah untuk sepersekian
detik sebelum ia merespon singkat, “Ya, kau benar.”
Ada satu perbedaan antara percakapan mereka malam ini dengan tujuh
tahun lalu.
“Fro, apakah sekarang kau kesepian?” tanya Fidel mendadak. Seulas
senyum tipis terbentuk di bibirnya. Kedua matanya menatap lekat-lekat Frona, menunggu
jawaban.
“Maksudmu?” Frona balas menatapnya, jelas tidak paham arah
pertanyaannya.
“Kau yang sekarang adalah Cinderella yang sukses. Mimpimu menjadi
penulis tercapai, punya sebuah rumah mewah, bisa pergi ke mana pun yang kau
mau,” Fidel berdiri, mengenakan jaketnya, bersiap meninggalkan apartemen Frona.
“Doesn’t it feel lonely though?”
Frona tidak menjawab.
Malam ini, pembicaraan mereka tidak berakhir dengan tawa canda.
Malam ini, pertanyaan tanpa jawab yang menutup diskusi.
☆ ☆ ☆
They stand in front of
two different paths.
And they make their
choice.
☆ ☆ ☆
7 DAYS LATER.
“Hey.”
“Hey, Fro.”
Kedua sahabat sejak kecil itu bertemu di taman favorit mereka.
Matahari mulai bersembunyi dan langit malam menyelimuti. Angin dingin
berhembus, membuat Frona menarik jaketnya sedikit lebih erat. Fidel memberi
gestur untuk duduk di kursi terdekat dari tempat mereka berdiri.
“Kudengar kau sudah mengirim bukumu ke penerbit,” ujar Frona, melirik
Fidel. Sejak percakapan terakhir mereka, ada perasaan janggal yang menghantui
Frona dan, untuk pertama kalinya sejak mereka saling mengenal, Frona tidak
berani mencari penjelasannya.
“Begitulah,” Fidel menyisir rambutnya dengan jari, menghela nafas.
“Anyway, Fro, pernyataanmu dulu,
tentang uang adalah modal. Kau masih berpikir seperti itu bukan?”
Frona mengangguk, semakin bingung mengapa Fidel bersikeras kembali
ke topik ini. Fidel menatap tanah, tersenyum kecil, “Apakah uang bisa membeli
cinta?”
“Dalam cara dan istilah tertentu, iya,” jawab Frona tenang. “Tidak
dengan uang tunai tapi, ya, bisa. Kau bahkan pernah mendengar hal konyol
seperti pernikahan kontrak atau perjodohan karena uang bukan?”
Fidel tidak tertawa kali ini. Ia meluruskan badannya dan memandang
sahabatnya, “Money can buy a status, but
not feelings.”
“Tapi cinta tidak menghasilkan uang.”
“Tapi cinta adalah alasan mengapa manusia ingin hidup lebih baik.”
“Tapi-“ Frona berhenti bergargumen. Ia menarik nafas, “Del, are you in love with someone?”
“Ya.”
☆ ☆ ☆
Why do we need to choose
when two are one?
☆ ☆ ☆
7 WEEKS LATER.
“Dear Frona, this is for a
best friend, from her best friend.”
Frona meneliti sampul buku yang ia pegang. Nama Fidel tertulis
jelas sebagai nama pengarang buku yang baru akan diterbitkan besok pagi; Frona
adalah yang pertama untuk menerima bukunya. Ia sudah pernah membaca draft Fidel sebelumnya sehingga bukan
isinya yang membuat dia terkejut. Bukan ceritanya yang membuat Frona tertegun
dan segera menelepon sahabatnya.
Halaman ucapan terima kasih di lembar ketiga buku itulah yang membuat
perasaannya bercampur aduk.
☆ ☆ ☆
“This book is dedicated
for all people who have supported me.
Dan untuk membuktikan pada seorang sahabat, bahwa cinta adalah
alasan kita menjadi lebih baik. Bahwa cinta adalah tujuan kita untuk segala
yang kita lakukan.
Kita memberi waktu dan menerima cinta.
This book is for me to
tell you that I love you.
Always.”
☆ END ☆
Author’s Note:
Frona
(Greek): self-controlled
Fidel
(Spanish): faithful, loyal
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih
Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh
www.cekaja.com dan Nulisbuku.com.
0 issues:
Post a Comment