Tuesday, November 18, 2008

‡ Last Waltz ‡


Ayahku seorang yang kasar.
Aku tidak ingat kapan terakhir kali ayahku menepuk pipiku,
mengelus-elus rambutku,
atau mengucapkan kata-kata sayang ketika memanggil namaku.

Penyakit diabetes yang dideritanya telah membuat Ayah mudah marah dan suka membentak-bentak.
Aku iri ketika melihat ayah-ayah lain dengan sayangnya mencium kening putri mereka atau dengan sayangnya memberi pelukan hangat kepada putri mereka.

Aku tahu ia menyayangiku dan cintanya amat dalam.
Ayah hanya tidak tahu saja bagaimana cara mengekpresikannya.

Jadi, aku pun ragu.
Sulit sekali mengucapkan "Aku sayang kamu" kepada seseorang yang tidak balas mengatakannya kembali kepada kita.

Setelah begitu kecewa pada penolakan Ayah,
aku mulai menghilangkan sikap penyayangku.
Aku tidak lagi berusaha mencium atau memeluk Ayah.

Awalnya, sikap menjauh seperti ini amat menyulitkan.
Lama-kelamaan hal itu terjadi secara otomatis dan pada akhirnya aku terbiasa.

Cinta di antara kami amat kuat, namun bisu.

Walaupun sangat jarang, suatu malam kami keluar.
Ibu berhasil membujuk Ayah yang jarang bersosialiasi untuk menghabiskan malam di kota bersama kami.
Kami duduk di sebuah restoran mewah yang dilengkapi dengan band kecil.

Pada saat band itu mulai memainkan dansa berirama waltz, aku memandang Ayah.
Ayah tiba-tiba terlihat kecil, tidak berdaya, dan tidak mengintimidasi seperti biasanya.
Sesuatu mengenai cara Ayah memandangku membuatku termangu.

Semua luka lama masih terpendam di hati,
tapi aku memutuskan untuk memberanikan diri lagi.

"Ayah! Aku kan belum pernah berdansa dengan Ayah.
Bahkan saat aku masih kecil, aku mengajak Ayah berdansa, tapi Ayah tidak pernah mau!
Bagaimana kalau sekarang saja?"

Aku menunggu jawaban Ayah yang seperti biasanya pasti akan merobek-robek hatiku.
Namun sebaliknya, Ayah mempertimbangkan dengan matang dan kemudian kedipan mata yang penuh kejutan tampak di matanya.

"Kalau begitu, berarti sudah lama Ayah melewatkan kewajiban sebagai seorang ayah,"
kata Ayah sedikit bergurau.
"Ayo kita berdansa dan Ayah akan menunjukkan padamu gerakan-gerakan seperti apakah yang masih bisa dilakukan orang tua seperti Ayah!"

Ayah menggandengku.
Sejak kecil, aku belum pernah digandeng.
Emosi begitu menguasai diriku.

Selama kami berdansa, aku menatap Ayah lekat-lekat,
tetapi Ayah menghindari tatapan mataku.

Matanya menatap ke lantai, pengunjung lain, dan para pemusik.
Pandangannya mengarah ke semua orang dan segala hal,
kecuali aku.

Aku merasa Ayah pasti meyesal telah memutuskan untuk berdansa denganku.
Sepertinya Ayah merasa tidak nyaman jika berdekatan secara fisik denganku.

"Ayah!"
Pada akhirnya aku berbisik, air mataku bercucuran.
"Mengapa sulit bagi Ayah untuk memandangiku?"

Pada akhirnya mata Ayah memandang wajahku lekat-lekat.
"Karena Ayah sangat menyayangimu,"
Ayah balik membisikiku.
"Karena Ayah menyayangimu."

Aku amat terkejut mendengar respons Ayah.
Itu bukanlah sesuatu yang sudah kuperkirakan sebelumnya.
Tapi tentu saja, itu lah persisnya yang ingin kudengar.

Mata Ayah berkaca-kaca dan ia berkedip.

Aku selalu tahu selama ini Ayah menyayangiku;
aku hanya tidak mengerti mengapa emosinya yang besar membuatnya takut dan diam seribu bahasa.
Sikap diamnya menyembunyikan emosi yang dalam, yang mengalir di dalam jiwanya.

"Aku juga sayang Ayah,"
aku balik berbisik pelan.

Ayah terbata-bata mengucapkan kata-kata selanjutnya.
"Ayah, Ayah minta maaf karena tidak pernah menunjukkannya," katanya.

"Ayah sadar, Ayah tidak menunjukkan perasaan Ayah.
Orangtua Ayah tidak pernah memeluk atau mencium Ayah,
dan Ayah belajar dari mereka.
Ini sangat... sangat... sulit bagi Ayah.
Mungkin Ayah terlalu tua untuk mengubah cara Ayah sekarang,
tetapi ketahuilah, Ayah amat menyayangimu."

"Baiklah," sahutku sambil tersenyum.

Ketika dansa berakhir,
aku mengantar Ayah kembali ke Ibu yang mennunggu di meja dan minta izin sebentar untuk ke kamar kecil.

Aku hanya pergi ke kamar kecil sebentar,
tetapi selama aku tidak ada,
segala sesuatunya berubah.

Ada jeritan dan teriakan serta bunyi kursi digeser saat aku kembali dari kamar kecil.
Aku bertanya-tanya keributan apa yang sudah terjadi.
Saat melihat ke arah meja, aku melihat keributan itu tentang Ayah.

Ayah tergeletak lemas di kursinya, wajahnya pucat pasi.

Seorang dokter di restoran berlari untuk memberikan napas buatan dan ambulans dipanggil,
tetapi semuanya sudah terlambat.

Ayah sudah tiada.
Seketika itu juga, kata mereka.

Apa yang tiba-tiba membuatku,
setelah bertahun-tahun mengeraskan hati melawan penolakan Ayah,
mengajak Ayah untuk berdansa?
Apa yang membuat Ayah menerima permintaanku?
Dari mana datangnya kemauan itu?
Mengapa sekarang?

Di restoran malam itu, yang bisa aku lihat hanyalah tubuh Ayah yang kaku dan pucat,
dikelilingi oleh para pengunjung yang berdiri dengan khidmat dan wajah suram paramedis.

Tetapi yang kuingat sekarag adalah pemandangan yang sama sekali berbeda.

Aku mengingat irama waltz ketika kami berdansa dan pengakuan penting Ayah yang tiba-tiba.
Aku ingat Ayah mengatakan "Ayah menyayangimu" dan aku membalasnya.

Ketika aku mengingat hal ini, entah mengapa,
lirik lawas Donna Summer melantun dalam benakku:

Dansa terakhir... kesempatan terakhir... untuk cinta.

Dansa itu benar-benar yang pertama,
terakhir,
dan satu-satunya dansa berdua dengan Ayah.

Sungguh suatu anugerah bahwa kami punya kesempatan untuk mengatakan,
sebelum terlambat,
tiga kata yang abadi selamanya,
dan lama setelah kita meninggal,
kata-kata itu akan terus menggema dalam kekekalan.

__________

Sebuah kisah dari buku berjudul Gift from the Heart of Love and Friendship yang merupakan kumpulan kisah menakjubkan tentang kehangatan dan kesetiaan ini mengisahkan sebuah kisah yang menurut gw sederhana namun mengharukan.

Dan dalam kasus ini,
gk berarti selalu hubungan ayah dan anak;
hubungan sepasang kekasih,
saudara dengan saudara,
sepasang suami istri,
ataupun sahabat dengan sahabat.

Dari kisah ini,
gw belajar bahwa cara menyayangi setiap orang mungkin berbeda-beda,
bahkan mungkin dengan cara yang tidak bisa kita pahami lewat sudut pandang kita.

Gw juga belajar bahwa kalau kita memang menyayangi seseorang,
katakan padanya dan tunjukkan bahwa kita menyayangi mereka sebelum semuanya terlambat;
tidak ada yang tahu waktu kita di dunia ini jadi lakukan apa yang ingin kita lakukan sebelum semuanya menjadi yang terakhir,
bahkan sebelum kita mengawali yang pertama.

Gw sertakan quote yang ada di akhir kisah ini y...


"Hanya sesaat sebelum cahaya kehidupan lilin itu padam,
nyala apinya berdansa.
Ia mengirimkan kesedihan,
asap tipis yang naik ke udara,
yang membentuk lingkaran sebelum akhirnya menghilang di udara.
Nyalakan sebuah lilin dan pandanglah dansanya,
pelajari tentang hidup dan napas terakhirnya."


+Lyrics of the day+
In my life I don't mean much to anyone
I've lost my way can't go back anymore
Once I had everything now it's gone
Don't tell me again coz I've heard it all before

Some people say that I'm not worth it
I've made mistakes but nobody's perfect
Guess I'll give it a try

I've got one last chance to get myself together
I can't lose no more time it's now or never and I try to remember who I used to be
I've got one last chance to get myself together

The time has come for me to change again
I can't carry on like this, I will lose my friends - don't say that you have given up on me
Just give me the time and space to heal my head

I don't wanna be misunderstood
I've got to take this chance and make it into something good
(One Last Chance by James Morrison)

0 issues: